Pemilihan umum yang berkualitas
adalah pemilihan yang berdasarkan aspirasi pemilih yang beri’tikad baik kepada
calon terpilih yang berintegritas tinggi untuk kebaikan bangsa dan negara.
Melalui definisi ini, ada dua unsur paling penting, yaitu pemilih dan calon
terpilih. Bila keduanya sudah memiliki komitmen yang kuat untuk kebaikan bangsa
dan negara, tentu pemilihan umum adalah bukti perwujudan sarana demokrasi yang
luar biasa. Pemilihan umum demikian akan melahirkan pemimpin bangsa yang akan
menepati janji-janjinya dengan bersikap aspiratif dan memunculkan solusi-solusi
kreatif dalam menyelesaikan problem negara. 
Dalam hal ini, konsep Nabi
Muhammad SAW perlu dicontoh, bahwa pemimpin yang layak adalah sosok yang
bersedia lapar kali pertama dan kenyang kali terakhir demi warganya. Ini
menarik. Ketulusan menjaga aspirasi rakyat indonesia menjadi prioritas dari
pada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Sementara itu, Pancasila, UUD,
NKRI, dan bhineka tunggal ika dijadikan prinsip idealisme yang tangguh. Sosok
seperti inilah yang diharapkan terpilih memimpin bangsa dan birokrasi di
Indonesia. 
Ironinya, dewasa ini pemilihan
umum dirasa semakin jauh dari khazanah ruhnya. Diakui atau tidak, pemilihan
umum dirasakan sebagai pesta politik kaum “bersaku” dan kaum “bertangan
panjang”. tak peduli identitasnya, kiprahnya, rekam jejaknya, yang berani
membayar akan mendapat kantong suara banyak, yang memiliki komunitas besar akan
mendapat uluran banyak tangan. 
Hal ini terjadi karana banyak
faktor, seperti peserta pemilu yang kurang kompeten dan pemilih yang minim
komitmen. Menurut Ramlan Surbakti (1992:181) pemilihan umum pada hakikatnya
merupakan penyerahan kedaulatan kepada orang yang dipercayai. Definisi semacam
ini sering diremehkan. Pemilih yang minim komitmen akan memilih siapapun yang
“berada di atas tangannya”. Sementara pemilih yang berkomitmen kuat kebingunan
mencari sosok pemimpin yang berintegeritas. Ini masalah besar, keduanya tidak
akan bertemu pada sisi baik. Dan akhirnya kedaulatan rakyat akan terancam
selama 5 (lima) tahun mendatang. 
Memang rakyat menjadi pilar
penting dalam pemilihan umum. Mereka memposisikan dirinya sebagai partisipan
dalam menentukan kebijakan politik dengan mendukung salah satu kontestan untuk
menjaga aspirasi dan kepentingan rakyat. Tapi sering dijumpai, rakyat yang jemu
atas pergantian roda pemerintahan yang tidak jauh beda. Janji janji manis
sebelum pemilihan umum menjadi bungkus penyedap yang tidak sesuai dengan
isinya. Setelah terpilih, lagi lagi tidak membawa perubahan yang baik. Itu dan
itu, begitu saja. Perasaan semacam ini ternyata menjadi kebiasaan yang mendarah
daging. Rakyat menjadi tidak percaya terhadap “jalu” pemerintah. Akhirnya,
setiap ada pemilihan umum, anggapan pertama kali yang muncul adalah NPWP “Nomor
Piro Wani Piro” (pilih nomor berapa, berani memberikan suap berapa, red). Bila
“tumbu ketemu tutup”, anggapan yang keliru mendapatkan tanggapan yang keliru,
maka legitimasi politik hasil pemilihan umum menjadi formalitas. Lagi lagi
nasib rakyat indonesia dipertaruhkan 5 (lima) tahun demi selipat rupiah yang
tidak besar.  
Pelaksanaan UUD 1945 pasal 1
ayat 2 bahwa “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut
undang-undang” tidak sepenuhnya dirasakan oleh rakyat. Padahal sebagai
eksplorasi UUD 1945, kedaulatan rakyat ini penting. Rakyat yang berdaulat tidak
bisa memerintah secara langsung, Tapi aspirasi dan kepentingan rakyat perlu
diartikulasikan menjadi undang-undang yang pro rakyat. Oleh karena itu
seharusnya pemilihan umum memberikan ruang kepada rakyat memilih wakil-wakilnya
untuk “menjaga” kedaulatannya bukan malah “membeli” kedaulatannya. 
Memang tidak mudah melangsungkan
pemilihan umum yang berkualitas, perlu adanya peserta pemilu yang kompeten dan
pemilih yang berkomitmen tinggi. Selain itu juga ditunjang regulasi yang
mengatur hingga detail dan tidak multi tafsir, misalnya tenang money politic
dan netralitas birokrasi yang “licin” dikenai pasal. Komposisi ini harus
didampingi oleh penyelenggara pemilu dan birokrasi yang netral dan adil. 
Pada dasarnya akar masalahnya
adalah pada mental dan pikiran rakyat indonesia yang tidak memiliki cita-cita
untuk menjadikan indonesia bangsa yang 
besar. Oleh karena itu, perlu adanya perubahan signifikan dalam diri
rakyat indonesia secara kontinue dan akseleratif. Rakyat indonesia harus
menjadi insan baru yang berintegritas, mau bekerja keras, dan punya semangat
gotongroyong seperti yang diamanatkan Soekarno, presiden RI pertama. 
Perubahan ini tentu tidak secara
serta merta dan teori blaka. setiap warga yang memiliki kesadaran pentingnya
pemilihan umum yang bermartabat diharapkan menjadi “agen reformasi”. Bukan
muluk-muluk, tapi dimulai dari dirinya sendiri dan kerabat paling dekat. Bila
sudah memadai, kerabatnya diminta mengajak kerabat lain atau sahabatnya, lalu
sahabatnya mengajak kerabatnya dan seterusnya. 
Mata rantai ini memang tidak seefektif sihir jin yang menghilangkan
kasus korupsi dengan satu “cring” pada iklan salah satu rokok. Tapi secara
berkesinambungan, mata rantai ini akan membawa indonesia lebih baik.
Para “agen reformasi” bukan sekedar kampret dan
cebong yang mudah goyah atau fanatik tapi tidak berdasar. mereka adalah kader
yang selalu meningkatkan Sumber Daya Manusianya dengan pendidikan berkarakter
dan religius. Ini adalah modal dasar. Penting. Proses tersebut merupakan bekal
untuk menjadi generasi yang mandiri menjaga keutuhan NKRI tanpa disentegrasi
dengan mempersiapkan diri untuk menghadapi masa depan. Dan tentunya dengan
memodifikasi perkembangan zaman dengan berpegang teguh kepada konsesus
nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar