Emakku
Sebentang kasih terurai sepanjang
masa
Benar kata
KH. Anwar Zahid, kasih orang tua dan anak ibarat betis dan mata. “Tol tol tobeseli,
totol tol rabeseli, kentol kecantol moto mbrebes mili, moto kencatol kentol ora
mbrebes mili” (bila betis tersangkut, mata menangis, tapi bila mata kelilip,
betis tetap diam, red). Bila betis luka, mata merasakan. Sebaliknya,  Sebagaimanapun mata meneteskan air mata,
betis tetap pada imamannya. 
Itu real dan
mayoritas. Dalangpun akan tak akan kehabisan lakon bila menceritakan kisah
kasih orang tua. Begitu juga aku tentang makku. 
Inilah emakku
Kadang
persepsi klasik membuatnya beda. Apalagi prinsip keibuan. Beda dengan anaknya,
beda dengan saudaranya, beda dengan tetangganya. 
Emakku adalah
seorang anak yang mendapat warisan tak sebanyak saudara-saudaranya, emakku
adalah ibu yang pesimis. Ketika bapakku masih hidup, Emakku hidup
dengan misi, tapi tidak dengan visi. Hari ini adalah keluarga, maka besok juga
untuk keluarga.
Hidup Emakku
adalah semua tentang bapak. 
Pengabdiannya sebagai seorang istri melampaui batas. Beliau melihat
tuhan dalam sosok bapak. Lalu dia bertawakkal sejadi-jadinya sampai tidak mampu
berfikir hari esok akan ada apa. Apalagi cita-cita. 
Dari bapak sebungkus
“kresek” bekal sehari dua hari. Diterima. Entah apa isinya. Entah apa untuknya.
Entah cukup. Entah dari mana. Bila ada lagi, maka selembar kertas dan beberapa
koin tersisih. Untuk anak. Begitu. Esokpun begitu. Lusapun begitu. Sampai
kapanpun, begitu. Lalu tersenyum bahagia. Sedikit senyum sudah cukup untuk
kehidupan kecil. Nikmat mana lagi yang bisa didustakan, bila dunia sudah
mengecil seperti ini. 
Bila semua
sudah dicukupi, buat apa mencari hal lain ke luar rumah. Itulah Emakku. Saya
pun tidak bisa membedakan, ini kemesraan?, kesetiaan?, perjuangan?,
kebahagian?, kesederhanaan?, kehebatan?, atau semuanya?. Memang sejatinya hidup
tidak ada yang eksak.
Beliau tidak
berfikir, di dunia keras ini banyak hal yang akan terjadi tidak seiring not not
paduan suara yang telah dilatihkan. Taqdir. Tuhan lebih penguasa dari rezim
manapun. Apalagi Soeharto, Adolf Hitler pun tak berarti. Bapak “tiada”. 
Tangisan?
Bukan. Air mata pun tidak mengalir. Hening ditengah jeritan tetangga, saudara.
Sambil meneguk air liur, menghirup nafas dalam dalam. Merapatkan bibir sambil
tersenyum sempit. Sesekali memejamkan mata. Menoleh sudut sudut rumah. Kosong.  Hingga 40hari. Tidak ada makan. 
Bukan
nasibnya yang diratapi. Tapi hidup anaknya.
Mulai
beranjak dari keterpurukan kemesraan. Dagang nasi uduk. Hidup baru, harapan
baru, kisah baru, cara pandang baru, cara hidup baru, keluarga baru, tanpa
bapak. Semua baru. Selangkah demi setangga dilalui. Tak ada kesedihan. Atau
memang di kamar tempat ratapan. Entahlah. Hingga tua. Renta. 
Kini gaya
hidupnya mendarah. Tulangnya pun tak kuasa memilah. Mana mungkin kaki menjadi
kepala, kepala menjadi kaki bila bukan seorang single parent tanpa keahlian,
pengalaman, dan pendidikan menafkahi 5 (lima) anggota keluarga. Tak peduli
seberapa lemahnya, sakitnya, anak tetap nomor satu. Hingga anak bukanlah anak.
Hingga anak menjadi “orang”. 
Kini semua
anaknya berharap untuk membalas budinya. Tapi Emakku terjebak dalam nostalgia.
Tidak peduli seberapa manis rayuan, seberapa keras larangan, Emakku tidak mau
berhenti mencari nafkah. Bukan untuk anaknya, tapi setidaknya beliau tidak ingin
menjadi tanggunan anak. Beliau tidak mau menjadi beban anak. Beliau tetap ingin
berkiprah.  
Emakku adalah
figur single parent yang tidak ada duanya. Keunikannya membuat beda dengan yang
lainnya. Kadang anak-anaknya tidak mampu mengartikan arti lemahlembutnya yang
dibalut dengan kemarahannya saat keinginannya tidak segera dilaksanakan. 
Emakku sangat
gemar memberi. Bahkan saking gemarnya, tidak jarang Emakku sengaja membuat
makanan, khusus untuk diberikan kepada orang-orang. Kadang membuat makanan
untuk dimakan tapi diberikan kepada orang hingga anaknya tidak “keduman”. Tidak
satu dua kali saya kehabisan makanan karena telah diberikan orang. Sering juga Emakku
memarahi anaknya bila tidak sesuai dengan kegemarannya yang satu ini. Selain
memberi, Emakku juga pantang untuk menolak pemberian orang lain. Apapun itu. 
Emakku
mengajarkan dengan tindak-tanduknya sendiri kepada anaknya untuk ramah. Selalu
menyapa kepada siapapun yang ada disekitarnya. Meskipun tidak kenal sekalipun
kepada orang yang bermasalah dengan dirinya. Awali menyapa dengan sapaan hormat
atau pertanyaan yang membanggakan hati orang tersebut. Jangan sombong, “ojo
gumede”. Kebiasaan Emakku ini membuat Emakku tidak akan kehabisan lakon saat
bercengkerama. “nerocos koyo tenong ra ono pojokan”
Bukan mitos,
bahwa setiap orang tua sangat pintar membuat petuah atau kata-kata bijaksana.
Begitu juga dengan Emakku. Beliau suka menasehati dalam hal baik. Kata-kata
yang sering diamanatkan adalah jadi orang kudu seng jujur, apek karo lian, ben
dadi wong seng dibagusi.
Emakku punya
kebiasaan buruk, yaitu jijik bila ada pekerjaan belum selesai terserak. Emakku
adalah orang yang disiplin. Beliau membagi tugas pekerjaan rumah kepada
anak-anaknya. Tapi tidak jarang Emakku merampungkan tugas anaknya. Beliau tidak
bisa istirahat bila semua pekerjaan rampung. Terutama masalah kebersihan dan
kenyamanan rumah. Sementara beberapa anaknya suka menunda-nunda pekerjaannya. Ini
yang membuat beliau harus bekerja ekstra. 
Saya
menyesal, takut menyesal.
Takut suatu
saat sosok Emakku tak berhadapku lagi. Tapi tak ada yang bisa kuperbuat.
Pendirian Emakku begitu tangguh. Susah untuk menggoyahnya. Pemanjaannya begitu
hebat. Pendidikan kepada anaknya juga tak kalah. Meskipun kini raganya tak
sekuat dulu. Meskipun secara praktis beliau tidak punya uang, tidak ada
pemasukan karena dagang nasi uduknya di monopoli salah satu anaknya. 
Memang Emakku
tetaplah Emakku. Sedangkan anak adalah prioritas. Harapan untuk “njunjung duwur
mendem njero” harkat dan martabat keluarga.
Beliau tidak
akan makan bila anaknya belum mendapatkan jatah lebih baik. Apalagi kepadaku,
putra sulungnya. Bahkan Emakku sering mengantarkan makanan khusus buatku. 
Bubur mutiara. Leleh saja air mataku. Beliau
membeli nya. Tiga. satu untuk anak lainnya. Satu untuk cucunya. Tinggal satu,
sudah ku tolak berkali kali dengan berbagai dalih, dari “nang pangan dewe”
sampai “wes wareg” agar dia memakannya sendiri, tapi tetap beliau antarkan ke
kemarku. Sementara beliau makan bubur mutiara sisa. Entah sisa siapa. 
Laukpun juga sering
disisihkan untukku. Meskipun berkali-kali ku tolak dengan alasan apapun, tetap
saja tidak “mendo” (peduli). 
Semoga emakku diberikan kesejahteraan, umur panjang, rizki yang melimpah,  sehat, dijauhkan dari segala penyakit dan kegelisahan hati, agar bisa bermain bahagia dengan cucu-cucu dariku.
dan jadikanlah aku anak yang sehat, jujur, rajin, yang mencapai cita-citaku yang tinggi dan membanggakan bagi emakku
Emakku, Washilah   
Ghafara Allahu Laha Wa yarham ha 


Tidak ada komentar:
Posting Komentar