Jumat, 25 Januari 2019

Ibu




Emakku

Sebentang kasih terurai sepanjang masa


Benar kata KH. Anwar Zahid, kasih orang tua dan anak ibarat betis dan mata. “Tol tol tobeseli, totol tol rabeseli, kentol kecantol moto mbrebes mili, moto kencatol kentol ora mbrebes mili” (bila betis tersangkut, mata menangis, tapi bila mata kelilip, betis tetap diam, red). Bila betis luka, mata merasakan. Sebaliknya,  Sebagaimanapun mata meneteskan air mata, betis tetap pada imamannya.

Itu real dan mayoritas. Dalangpun akan tak akan kehabisan lakon bila menceritakan kisah kasih orang tua. Begitu juga aku tentang makku.

Inilah emakku

Kadang persepsi klasik membuatnya beda. Apalagi prinsip keibuan. Beda dengan anaknya, beda dengan saudaranya, beda dengan tetangganya.

Emakku adalah seorang anak yang mendapat warisan tak sebanyak saudara-saudaranya, emakku adalah ibu yang pesimis. Ketika bapakku masih hidup, Emakku hidup dengan misi, tapi tidak dengan visi. Hari ini adalah keluarga, maka besok juga untuk keluarga.

Hidup Emakku adalah semua tentang bapak.  Pengabdiannya sebagai seorang istri melampaui batas. Beliau melihat tuhan dalam sosok bapak. Lalu dia bertawakkal sejadi-jadinya sampai tidak mampu berfikir hari esok akan ada apa. Apalagi cita-cita.

Dari bapak sebungkus “kresek” bekal sehari dua hari. Diterima. Entah apa isinya. Entah apa untuknya. Entah cukup. Entah dari mana. Bila ada lagi, maka selembar kertas dan beberapa koin tersisih. Untuk anak. Begitu. Esokpun begitu. Lusapun begitu. Sampai kapanpun, begitu. Lalu tersenyum bahagia. Sedikit senyum sudah cukup untuk kehidupan kecil. Nikmat mana lagi yang bisa didustakan, bila dunia sudah mengecil seperti ini.

Bila semua sudah dicukupi, buat apa mencari hal lain ke luar rumah. Itulah Emakku. Saya pun tidak bisa membedakan, ini kemesraan?, kesetiaan?, perjuangan?, kebahagian?, kesederhanaan?, kehebatan?, atau semuanya?. Memang sejatinya hidup tidak ada yang eksak.

Beliau tidak berfikir, di dunia keras ini banyak hal yang akan terjadi tidak seiring not not paduan suara yang telah dilatihkan. Taqdir. Tuhan lebih penguasa dari rezim manapun. Apalagi Soeharto, Adolf Hitler pun tak berarti. Bapak “tiada”.

Tangisan? Bukan. Air mata pun tidak mengalir. Hening ditengah jeritan tetangga, saudara. Sambil meneguk air liur, menghirup nafas dalam dalam. Merapatkan bibir sambil tersenyum sempit. Sesekali memejamkan mata. Menoleh sudut sudut rumah. Kosong.  Hingga 40hari. Tidak ada makan.

Bukan nasibnya yang diratapi. Tapi hidup anaknya.

Mulai beranjak dari keterpurukan kemesraan. Dagang nasi uduk. Hidup baru, harapan baru, kisah baru, cara pandang baru, cara hidup baru, keluarga baru, tanpa bapak. Semua baru. Selangkah demi setangga dilalui. Tak ada kesedihan. Atau memang di kamar tempat ratapan. Entahlah. Hingga tua. Renta.

Kini gaya hidupnya mendarah. Tulangnya pun tak kuasa memilah. Mana mungkin kaki menjadi kepala, kepala menjadi kaki bila bukan seorang single parent tanpa keahlian, pengalaman, dan pendidikan menafkahi 5 (lima) anggota keluarga. Tak peduli seberapa lemahnya, sakitnya, anak tetap nomor satu. Hingga anak bukanlah anak. Hingga anak menjadi “orang”.

Kini semua anaknya berharap untuk membalas budinya. Tapi Emakku terjebak dalam nostalgia. Tidak peduli seberapa manis rayuan, seberapa keras larangan, Emakku tidak mau berhenti mencari nafkah. Bukan untuk anaknya, tapi setidaknya beliau tidak ingin menjadi tanggunan anak. Beliau tidak mau menjadi beban anak. Beliau tetap ingin berkiprah.  


Emakku adalah figur single parent yang tidak ada duanya. Keunikannya membuat beda dengan yang lainnya. Kadang anak-anaknya tidak mampu mengartikan arti lemahlembutnya yang dibalut dengan kemarahannya saat keinginannya tidak segera dilaksanakan.

Emakku sangat gemar memberi. Bahkan saking gemarnya, tidak jarang Emakku sengaja membuat makanan, khusus untuk diberikan kepada orang-orang. Kadang membuat makanan untuk dimakan tapi diberikan kepada orang hingga anaknya tidak “keduman”. Tidak satu dua kali saya kehabisan makanan karena telah diberikan orang. Sering juga Emakku memarahi anaknya bila tidak sesuai dengan kegemarannya yang satu ini. Selain memberi, Emakku juga pantang untuk menolak pemberian orang lain. Apapun itu.

Emakku mengajarkan dengan tindak-tanduknya sendiri kepada anaknya untuk ramah. Selalu menyapa kepada siapapun yang ada disekitarnya. Meskipun tidak kenal sekalipun kepada orang yang bermasalah dengan dirinya. Awali menyapa dengan sapaan hormat atau pertanyaan yang membanggakan hati orang tersebut. Jangan sombong, “ojo gumede”. Kebiasaan Emakku ini membuat Emakku tidak akan kehabisan lakon saat bercengkerama. “nerocos koyo tenong ra ono pojokan”

Bukan mitos, bahwa setiap orang tua sangat pintar membuat petuah atau kata-kata bijaksana. Begitu juga dengan Emakku. Beliau suka menasehati dalam hal baik. Kata-kata yang sering diamanatkan adalah jadi orang kudu seng jujur, apek karo lian, ben dadi wong seng dibagusi.

Emakku punya kebiasaan buruk, yaitu jijik bila ada pekerjaan belum selesai terserak. Emakku adalah orang yang disiplin. Beliau membagi tugas pekerjaan rumah kepada anak-anaknya. Tapi tidak jarang Emakku merampungkan tugas anaknya. Beliau tidak bisa istirahat bila semua pekerjaan rampung. Terutama masalah kebersihan dan kenyamanan rumah. Sementara beberapa anaknya suka menunda-nunda pekerjaannya. Ini yang membuat beliau harus bekerja ekstra.

Saya menyesal, takut menyesal.

Takut suatu saat sosok Emakku tak berhadapku lagi. Tapi tak ada yang bisa kuperbuat. Pendirian Emakku begitu tangguh. Susah untuk menggoyahnya. Pemanjaannya begitu hebat. Pendidikan kepada anaknya juga tak kalah. Meskipun kini raganya tak sekuat dulu. Meskipun secara praktis beliau tidak punya uang, tidak ada pemasukan karena dagang nasi uduknya di monopoli salah satu anaknya.

Memang Emakku tetaplah Emakku. Sedangkan anak adalah prioritas. Harapan untuk “njunjung duwur mendem njero” harkat dan martabat keluarga.

Beliau tidak akan makan bila anaknya belum mendapatkan jatah lebih baik. Apalagi kepadaku, putra sulungnya. Bahkan Emakku sering mengantarkan makanan khusus buatku.

Bubur mutiara. Leleh saja air mataku. Beliau membeli nya. Tiga. satu untuk anak lainnya. Satu untuk cucunya. Tinggal satu, sudah ku tolak berkali kali dengan berbagai dalih, dari “nang pangan dewe” sampai “wes wareg” agar dia memakannya sendiri, tapi tetap beliau antarkan ke kemarku. Sementara beliau makan bubur mutiara sisa. Entah sisa siapa. 







Laukpun juga sering disisihkan untukku. Meskipun berkali-kali ku tolak dengan alasan apapun, tetap saja tidak “mendo” (peduli). 

Semoga emakku diberikan kesejahteraan, umur panjang, rizki yang melimpah,  sehat, dijauhkan dari segala penyakit dan kegelisahan hati, agar bisa bermain bahagia dengan cucu-cucu dariku.
dan jadikanlah aku anak yang sehat, jujur, rajin, yang mencapai cita-citaku yang tinggi dan membanggakan bagi emakku

Emakku, Washilah  
Ghafara Allahu Laha Wa yarham ha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar