Jumat, 07 Januari 2022

Singgasana Kemesraan




Pasar mulai ramai. Lalu lalang tangan bergelang dan cibiran bibir merah meramaikan sepanjang jalan. keluh, kesah, iri, dengki, lengkap sudah.
Tak banyak yang pintar, sabar dan toleran. Ramainya gemuruh. Yang untung menikmati keberuntungan, yang naas lebih memilih mencari kelemahan orang daripada bersyukur.

Namun Mbah Sumi berbeda. Rumahnya hening dan damai meskipun kanan kirinya ramai rumpi. Padahal pasar itu tak jauh dari rumah Mbah Sumi. 

"Ini kenapa disini adem ayem", pikirku. Ternyata mbah Sumi sedang tidur. Ranjang yang dipakai berebah itu tampak tua. Tapi tidak ada nyamuk, mungkin nyamuknya takut batuk alergi debu.

Interior rumah Mbah Sumi sangat sederhana. Ruang tamu, kamar tidur  dan kamar mandi terhubung. Jadi kalau ada tamu, langsung bisa melihat kamar mandi dan ruang lainnya. Sementara dapurnya berada di belakang rumah.

Saya hanya berdiri, memang tidak ada kursi tamu. Biasanya kalau ada tamu langsung duduk di ranjang tua itu. Percakapannya seperti seorang anak dan ibu. Duduk berhadapan, sesekali menepuk pundak sambil berramah renyah. Bercanda lalu bernasehat bersama sama.

Di sebelah pintu masuk, ada kursi usang. Mungkin sudah rusak. Tampak lusuh dan kotor. Saya heran. Kursi tua begini, kalau dibuang sepertinya lebih bersih dan tampak rapi. Kenapa Mbah Sumi tak demikian.
"Mbah...", sapaku. 
"Kursi mpun lapuk ngeten niki, lak yo sae nek dibuang nu"

Mbah Sumi tak menjawab, senyumpun tidak. Saya heran. Sembari ku lanjutkan menulis dokumen sensusku, kita benar benar hening. Sapa hangatnya sirna usai ku tanyakan kursi itu.

Ada apa ini, geming di hatiku. Selesai ku mencacah, saya berencana pamit dan minta maaf bila ada hal yang menyinggung.

Belum ku pamit, Mbah Sumi berbisik lirih
"Kursi kui, pelungguhan ngajine Mbah Kusno", Sambil menangis lirih. saben wayah ngasar, Mbah Kusno mesti ngaji sampe surup magrib. Mbah Kusno kui tiyange Istiqomah, tiange sae, mboten Nate duko, Sayange Karo keluarga dilampu lesu lan rekoso. Masyaallah.

Suara Mbah Sumi semakin lirih, istighfar nya pun tak terdengar jelas, kalah dengan suara ceguk tangisnya. Nafasnya terengah. Matanya berlinang. Tak sekali beliau mengusapnya. Tapi air matanya tak terbendung seperti rindu yang menggebu. 

"Kursi kui tak sawang ben mapan ben tangi cung, ngunukui adem rasa atiku koyo digamblo'i mbahe, masyaallah" tangisnya.

"Biyen saben ngaji surup ngunu kae, anak anakku do turon neng pupune mbahe sampe do liyer liyer". Tambah deras tangisnya.

Beliau terhanyut dalam duka dan rindu. Sepatah setangkai beliau ceritakan kisah cinta rumah tangganya dengan Mbah Kusno, saya hanya tersipu bingung seribu bahasa.

Tangisnya mulai habis, tapi cerita cinta tak ada habisnya. Mbah Sumi mulai menceritakan kisah romantis, gigih sampai geli dan jail Mbah Kusno. 
Cerita menonton layar tancap berdua, jalan jalan di pasar malam tapi tidak punya uang, ban sepeda kempes di tepi kuburan, kehabisan air mandi saat dirumah mertua, keramas menggunakan lirang gosong, dan banyak lagi.

Ceritanya masih lengkap tanpa diary dan story setelah hampir dua puluh tahun Mbah Sumi mengantarkan Mbah Kusno di peristirahatan terakhirnya.

Saya berfikir, apa mbah Sumi ini adalah Juliet. Saya hanya bisa terpana. Selepas pamit, saya buru buru berlari ke rumah. Mencari, apa Julietku masih menjemur pakaian atau sedang mengulek sambel. Setelah ku dapati, ku peluk dia, tak ku lepas, dia pun membalas. Ku bisikkan pelan, "my dream, aku kelombo'en".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar