Usai hujan siang ini para penggiring ternak melanjutkan tugas berkahnya. Dingin, sumsum ini seakan kesemutan. Saat itu wiper bus mulai melamban. Kaca bus sudah bersih. Saya hanya duduk tenang. Ta'jub kekuasaan sang pencipta. Lereng gunung saat mendung ternyata sangat indah, ijuk, asri, Tak ada polusi, apalagi kemacetan. Apa ini, bukankah sepuluh menit lalu jalanan sangat penat. Seindah ini pencipta menata keseimbangan alam. Sempurna tak tertandingi. 
"Parkir sana pak", sapa juru parkir. Tak berkira, belum tuntas  ku berangan, ternyata Rombongan kami sudah tiba di pemberhentian destinasi berikutnya. Wisata candi lereng merapi. Sore itu masih mendung. Rumput basah kadang bergoyang diterpa angin. "Ini mas tiketnya", atur Kang tourguide. Tak ku balas, hanya senyum renyah sambil menggangguk, sekiraku cukup.
Ternyata wisata ini hanya tempat spot foto. Bahkan mungkin tak ada wahana lain. Pas untuk remaja alay penggila sosmed dan kemera jahat. Saya dan seteman hanya berkeliling. Mengamati atau mencari inspirasi.
Wisata ini dibandrol dengan harga tiga puluh ribu. Angka yang lumayan murah untuk pekerja tetap. 
Di sudut wahana spot foto ada dua nenek lanjut usia. Semua pengunjung tak ada yang menghiraukan keberadaan beliau berdua. Karena memang tidak menggangu dan berisik. Mereka duduk "setimpoh" tanpa karpet di atas rumput. Baju lusuhnya menandakan mereka bukan untuk berwisata. Beliau berdua dengan senyum santainya mengelus rumput. Tak bertali dan berkarung, sepertinya beliau berdua juga tidak sedang mencari makanan ternak.
Salah satu nenek itu adalah Mbah Lasmirah. Kakinya yang sudah tak berotot lagi seakan lemah tak berdaya. Giginya dicuri peri menambah kesolekan mbah Lasmirah. Tapi peri itu jahat nya kebangetan. Tak ada satupun gigi yang disisakan, seperti semboyan birokrasi para koruptor, habis sehabis habisnya. 
"La dos pundi leh dek, tura turu seng arep paring nedo sinten, anak yo ngunu kae, tonggo yo pisan pindo, ndhak mosok selawase arep arep kawelasan", jawabnya ketika saya tanya "Nek, nembe Nopo niki?" Huh, jawabannya bikin pitam naik ke hati paling lubuk. "Kulo niki serabutan dek, wonten tawaran damelan, selagi taseh kiat geh kulo pundut. Kangge nedho mas, kedik kedik Alhamdulillah mboten ngrepoti maran liyan" imbuhnya. Beliau ini dipekerjakan pemilik wisata untuk mencabuti rumput liar yang tumbuh di tengah rumput taman. "Nggih ngeten niki dek, njabut niki, sambil menunjukkan rumputnya ke arahku.
Saya hanya terdiam. Tak kuat berucap. "Ngeteniki kulo diparingi alhamdulillah cekap damel nedho". Imbuhnya. 
Sudah. Saya malu. Tuhan. Keseimbangan macam apa ini. Di tengah para tamu penikmat destinasi, uang begitu tak berarti. Sama recehnya perjuangan hidup mati seseorang. Bagaimana mungkin Kebutuhan tersier senilai dengan kebutuhan pokok seseorang. Tuhan. Aku malu.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar