Peradaban adalah bukti kehebatan Tuhan
Mana ada yang tau masa lalu akan menjadi seperti ini. 30 tahun tahun silam kita bagaimana. Lalu sekarang seperti apa. Dulu ada apa, sekarang apa saja. Dulu tradisinya seperti apa sekarang budayanya bagaimana. Sang penaqdir, lagi lagi mempermainkan mahluknya. 
1989, tepat bulan ini (April), terhitung 31 tahun saya dilahirkan. Lahir dengan selamat meski tanpa bidan. Entah ada jahitan atau sekadar param kala itu. Bagaimana sakitnya, bagaimana perihnya, bagaimana pahitnya. Entahlah, emakku yang tau.
Mbah dukun dengan sibuknya kesana kemari, tangannya tidak pernah berhenti. Ada saja yang dikerjakan. Kendati bibirnya seperti kiyai agung di podium menjelaskan anjuran, perintah dan larangan. Tak henti. Lalu diakhiri jampi dan resep seperti doa pawang hujan. Komat kamit.
Kala itu, tangisanku tak dihiraukan. Saya pun, sebenarnya tak tau apa mauku. Cukup dibungkus dengan sarung bapak dan "tapeh" emak untuk "bedong". Dan sisanya disobek untuk popokku. Dielus kepalaku sambil menggerutu. Cup, cup. Saya terdiam seakan menemukan pusar emak yang dipotong.
Bapak tak tinggal diam, setelah mengadzan-iqomahi telingaku, beliau bergegas melakukan ritual pada "Bathur" janinku (ari ari). "Bathur"ku dilayakkan dalam pendil dan dikubur  di bawah "genuk" (tampungan air) dengan banyak harapan.
Belum cukup, diriku yang masih ranum diserahkan pada Pak Dhe
"Niki pak, bayi adi ne sampean" kata Bapak untuk tabarrukan doa oleh guru, sang kiyai atau sesepuh. 
"Jan, anakmu tak jenakke "Daim". Supoyo sok ben dadi apek wiwit sampe pungkas, solih selawase, jujur lan adil tanpo pamrih lirkadyo sucining wulan poso iki. Jur mahabbah karo njeng Nabi, tak kawiti "Ahmad". Dadi jabang bayi iki kasebut "Ahmad Daim" yo Jan" kata Pak Dhe Oyan
"Geh pak" , timpal Bapak
Saat itu, budaya kuno masih melekat. Dihari selapanku, Kegaduhan tetangga dengan jamuan seadanya meramaikan rumahku. Gelak tawa Bapak menemani mereka yang sedang membahas kemesraan alam kala itu. Tidak ada kepentingan,  tidak ada politik. Semua tamu berhidmah. Memanja dengan  keluarga kami. Tak ada yang bersolek. Tidak ada skincare dan tak ada gadget.
Lampu "stongkring" yang dipompa Bapak sore itu makin meredup. Waktunya pentas. Jedor dan suara kelik kelik Pak Dhe Syukur dan rombongannya benar benar membuat seisi rumah melotot dan tidak bisa tidur.
Suaranya khas. Cempreng tanpa filter dan mikropon. Entah dimana merdunya. Kadang Keras sampai Ototnya seakan keluar tenggorokan. Ini bukan jeritan.  Kadang juga fales. 
Mereka bersyair seperti berwirid. Meski duduk bersila, Kepala begoyang seperti bertahlil. Mata merem melek begitu menghayati. Mulut seperti petelur berkokok dipagi hari. Sesekali mereka menyeruput kopi atau jahe dan menyantap ketela didepannya. Lalu menabuh jedornya lebih keras lagi. 
Seperti jam istirahat sekolah. Jam 12 malam tepat suara gaduh "jedor" dihentikan. Ada "tidor", tabuhan "badug" di masjid jame' di desaku seperti wayang kulit "tibo goro goro suluk" tepat pukul 00.00. penabuh tidor berdiri tegak menabuh "bedug" seperti orang marah, hingga berkeringat deras bak suami yang bernafsu pada malam pertama di musim kemarau. Tak ada belas kasihan, satu "bedug" dipukuli masal oleh pemuda pemuda yang baru "games gamese" makan. Gaduhnya membuat seisi desa terbangun, hingga "Tidor" berhenti, sebagai tanda masuknya waktu memasak hidangan untuk sahur.
Dirumahku, tamuku masih bersantai, menghisap "leletan" tembakau seperti vape masa kini. Satu ruangan penuh asap tanpa charger. Pasukan "jedor" siap menabuh lagi. Dengan sarung atau celana kopral, kopyah agak miring, 3 kancing baju terbuka, iga dada kurusnya terpampang hitam lebam, pasukan itu melahap bulan hingga fajar.
Sahur pun tiba. Kerlap kerlip Pelita ditengah hidangan seperti sajian romantis sejoli romeo juliet. "Tampah" dan "nampan" seperti tatanan prasmanan tertata apik dan rapi ditutup daun pisang dan jati.
Genderang perang segera dimulai. Detik detik imsakiyah menunggu "bedug" ditabuh. Rumahku seakan lebih ramai daripada saat "jedoran". Bukan ramai syairan atau tabuh instrumen "jedor". Tapi gemuruh guyup makan bersama. Saling tuding saling tolong. Saling ejek saling cibir. Tak ada sendok tak ada "entong". Pun tak ada WC untuk berak.
Seisi rumah tak ada yang diam. Semua ambil peran. Tak terkecuali aku. Tangisku semakin kencang menandingi mak cibir, Tetanggaku yang bicaranya kemrecek dan keras. Ramainya rumahku melebihi debat legislatif di gedungnya. 
Itu, 31 tahun lalu. Hari ini? Paling tidak hari ini akan jadi keunikan untuk 30 tahun yang akan datang. Bersiaplah berkesan dihari ini.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar