CANGKANG #1 :
MAYAT MAYAT CINTA
(C) 2008 Agung Wijaya
Hak Cipta Dilindungi Udang-undang
Dilarang keras mempergunakan sebagian atau keseluruhan naskah ini tanpa ijin dai penulis. Mementaskan naskah ini diharuskan membayar royalti sebesar 10% dari hasil penjualan tiket atau melakukan permohonan ijin jika tidak menjual tiket.
Kontak perijinan naskah ini bisa dialamatkan ke :
Agung Wijaya -- azolapinata@yahoo.com, atau
Gamblank Musikal Teater Yogyakarta – zonagamblank@yahoo.com
# 0  Mukaddimah    Lagu pembuka (Lagu 1)  |   ||
# 1 Lampu   temaram, diikuti spot besar di tengah panggung. Tiba-tiba, seorang laki-laki kasar   masuk dari sisi panggung sambil mencengkeram rambut & menyeret seorang   perempuan cantik. Perempuan itu menangis, memperlihatkan kepedihan hatinya.   Ia dihempaskan ke lantai dengan kasar. Musik masih mengalun mengiringi   peristiwa ini...  |   ||
Dursasana     |    :  |    “Menurutlah   Drupadi, karena kau sudah milik kami! Kau adalah pelayan kami sekarang.   Suamimu Yudhistira telah mempertaruhkan dirimu di arena perjudian ini. Dan ia   telah kalah..!”  |   
Drupadi     |    :  |    (Masih terduduk bersimpuh dan tersedu.   Suaranya ditekan) “Bagaimana   mungkin Tuan-tuan membiarkan diriku dijadikan taruhan oleh orang yang telah   kalah berjudi? Bukankah para penjudi adalah manusia-manusia jahat yang ahli   tipu muslihat?! Suamiku telah menjadi budak karena kalah, dan ia bukan   manusia bebas lagi. Karena-nya ia tak berhak lagi mempertaruhkan aku...”  |   
Dursasana     |    :  |    “Sejak   semula ia telah rela akan mempertaruhkan semua miliknya. Itu berarti bukan   hanya harta benda, tetapi juga dirinya sendiri, saudara-saudaranya, termasuk   kau, istrinya...!”  |   
Drupadi     |    :  |    (Menghadap ke arah penonton, seolah ia   menatap hadirin arena perjudian itu) “Tuan-tuan   yang terhormat, jika kalian memang mencintai dan meng-hormati kaum ibu yang   telah melahirkan dan menyusui kalian, jika penghargaan terhadap istri, saudara   perempuan atau putri kalian benar-benar tulus, jika kalian percaya pada Yang   Maha Agung dan menjunjung tinggi dharma, jangan biarkan aku dihina seperti   ini..! Lakukan sesuatu! Penghinaan ini lebih kejam dari kematian!!”  |   
Dursasana     |    :  |    “Drupadi,   tak perlu kiranya kau berucap seperti itu! Tak ada gunanya sudah, karena   justru mereka menjunjung tinggi dharma, kehormatan & etika, mereka   mengerti bahwa mereka tak punya hak untuk berlaku apapun. Mereka hanya   penonton sekarang, bukan penegak kebenaran! Pahamilah, sesungguhnya mereka   mulai menikmati suguhan indah ini. Maka jangan kau buat mereka kecewa. Tapi   buatlah mereka lebih setia menatapmu, lebih hangat bersama hasratku   mempermainkanmu! Lihat, di sana suami-suamimu telah dengan rela menyerahkan   dirinya bulat utuh tanpa busana, sebagai bentuk pengakuan kekalahan dan   pertaruhan mereka. Mengapa kau tidak berlaku seperti mereka?!”  |   
Drupadi     |    :  |    “Jika   Yudhistira dan saudara-saudaranya rela menanggalkan kehormatan mereka, maka   itu tidak akan terjadi padaku! Karena kira-nya mereka mengakui bahwa tak ada   lagi kehormatan yang lekat pada dirinya. Tapi aku, seorang perempuan suci,   istri sah atas nama dharma dari laki-laki yang dipilihkan untukku, perempuan   suci yang dari rahimnya juga akan keluar keturunan suci, tak akan kunodai   kesucian ini. Tak akan kulepaskan pakaianku, bahkan untuk sehelai benangpun.   Karena ini adalah cangkang, perlambang dari kewajiban dijaga, dibela dan   dipertahankannya kesucian itu. Inilah yang telah di...  |   
Dursasana     |    :  |    (Memotong kata-kata Drupadi. Marah, ia   menghardik perempuan itu...) “Persetan   dengan segala bentuk kesucian dan cangkang itu! Jika kau memang istri yang   menjunjung tinggi dharma dan setia pada suami, maka selayaknya kau senasib   seperti mereka. Jika kau merasa tidak sanggup menanggalkan sendiri busanamu, biar   aku yang melucuti-nya!!”  |   
Dengan beringas dan bernafsu,   Dursasana menyentuh tubuh Drupadi dan meraih bajunya. Ia akan mulai melucuti   dan menelanjangi perempuan malang itu... Drupadi meronta, berontak, berusaha   mempertahan-kan diri. Ia berdiri dan berlari mencari tempat berlindung.   Bahkan sampai ke tempat hadirin yang menyaksikan peristiwa ini. Tapi   Dursasana tak tinggal diam... Ia makin bernafsu melihat Drupadi ketakutan.   Sambil tertawa keras, ia mengejar Drupadi, menyeret dan menghempaskannya lagi   ke lantai. Lagu bernuansa rock muncul   menghentak,   |   ||
Lagu   #1 (Saat   nestapa)  |    :  |    Saat   kenistaan merajalela Maka   entah kemana perginya dharma Ketika   nestapa mulai dibuka Maka   tinggallah dosa menjadi raja O...   inilah awal sejarah Kala   kesucian tak lagi indah Tapi   malah dirajah  Oleh   nafsu yang serakah... *)   O... inilah awal sejarah Karena   kesucian telah dijarah Maka   dunia jadi rebah Dan   lelaki akan menyerah...  |   
Lagu masih mengalun, mengiringi   Dursasana yang mulai menelanjangi Drupadi. Bagian demi bagian, busana itu   tersobek oleh tangan-tangan kasar si lelaki yang angkara. Drupadi meronta,   berontak dan ber-lari dengan tubuh yang mulai tersibak. Dursasana meraihnya   kembali, menyobek lagi benang-benang cangkang itu...Drupadi meronta, dan   tubuhnya terhempas...Sambil menangis, ia luapkan murkanya dengan mengucap   sumpah...  |   ||
Drupadi     |    :  |    “O...   penguasa semesta Yang Maha Suci, kepadaMu kuserahkan segala keyakinanku. Atas   nama kesucianMu, kumohon Kau dengar ucapan-ku...! Aku bersumpah! Hari ini   adalah awal sejarah, kala kesucianku dirampas, maka dunia akan berlumur   nista. Nista yang akan menjadi awal celaka, bagi dia & kaum-kaumnya yang   melucutiku, yang terus akan dicatat menjadi cerita seisi dunia. Nista yang   akan membuat laki-laki, justru tidak akan pernah menemui kembali indahnya   kesucian.. Nista yang membuat mereka jadi budak bagi perempuan, atas nama   nafsu dan cinta yang sesungguhnya abu-abu!! Nista yang akan mem-bawa mereka   pada ujung dunia...!”  |   
Lagu kembali menghentak, lalu   berlanjut *) Fade-out,. Panggung tiba-tiba sunyi.  |   ||
#2 Lampu   temaram, indah tapi juga muram. Di sebuah kamar. Sayup-sayup musik bernuansa   ghotic terdengar. Dua perempuan. Yang satu tampak   seperti seorang lelaki, meski garis wajahnya tetap menampilkan ia perempuan.   Sedang satunya perempuan tulen, ayu dan sintal. Di atas sofa panjang, mereka   saling menikmati keberadaan satu sama lain. Perempuan-lelaki itu benar-benar   seperti lelaki, yang menikmati tubuh perempuan pasangannya. Ia mencumbui si   perempuan dengan lembut Sedang si perempuan tulen, sungguh menikmati   hasratnya. Mereka saling bergumul. Si perempuan tulen duduk bersandar sofa.   Perempuan-lelaki merayap mendekatinya dengan mata penuh nafsu. Liar! Ia meraih   baju si perempuan tulen dan mulai menanggalkan (kancing)-nya. Sedikit demi   sedikit tubuh si perempuan tulen tersibak. Tapi, sebelum tanggal seluruh baju   itu, ia bangkit berdiri menghindari si perempuan-lelaki. Ia menarik nafas   panjang sambil berusaha membenahi pakaiannya, menutupi kembali tubuh sintal   miliknya. Dan si perempuan-lelaki itu menatapnya tajam menampakkan kekecewaan..  |   ||
Yan     |    :  |    “Kenapa,   Ris? Nggak biasanya kamu nolak kayak gini!”  |   
Rista  |    :  |    “Sori,   Yan.. . Aku nggak bisa lagi...”  |   
Yan  |    :  |    “Nggak   bisa lagi? Maksudmu?”  |   
Rista  |    :  |    “Ya   nggak bisa lagi!” (Hening) “Aku   nggak bisa melakukan ini lagi sama kamu!”  |   
Yan     |    :  |    “Kamu   sudah nggak sayang aku lagi? Gitu?!”  |   
Rista     |    :  |    “Kita   menipu diri kita sendiri. Kita sudah menyimpang...  |   
Yan  |    :  |    Menyeringai, bernada mengejek “Kamu   habis dari mana, sih?! Sampe kesambet malaikat terus ngomong gitu...?”  |   
Rista     |    :  |    Kesal! “Yan.   Ini serius!!”  Kita   sama-sama cewek, Yan...”  |   
Yan     |    :  |    Menyeringai, bernada mengejek “Cewek??   Kamu kali yang cewek!.”  |   
Rista     |    :  |    “Yan!   Sadar, Yan! Lihat diri...”  |   
Yan     |    :  |    Memotong, & marah “Trus   kenapa kalo’ kita sama-sama cewek?! Selama ini aku juga memperlakukanmu sebagai   cewek kan? Dan aku menempatkan diriku sebagai seseorang yang dibutuhkan cewek   seperti kamu.”   |   
Rista     |    :  |    “Kamu   yang butuh, bukan aku! Sadar nggak sih?”  |   
Yan     |    :  |    “Justru   karena aku sadar aku melakukan ini semua!” (Diam, menumpahkan kekesalan. Mengambil bungkus rokok di atas meja,   mencabut sebatang, mengambil korek & mau menyalakannya. Tapi tidak jadi.)  “Lagi pula, apa sih bedanya? Apa juga salahnya   kalo kita sama-sama cewek?!”  |   
Rista     |    :  |    “Jelas   salah, kita menyalahi kodrat”  |   
Yan  |    Menyeringai, bernada mengejek “Kodrat?!   Heh,... Kodrat apa, Ris? kodrat cewek?? Apa coba ukuran kodrat cewek itu? (Yang ditanya diam. Hening sesaat.)  |   |
Rista  |    :  |    “Yang   jelas Di dunia ada berbagai hal berlawanan yang dipasangkan. Siang malam,   gelap terang, semuanya. Semuanya berlawanan... dan kita sejenis. Magnet aja kalo   sejenis juga tolak-menolak.”  |   
Yan  |    :  |    Hidup   jangan pakai Fisika.  |   
Rista  |    :  |    Jangan   juga melulu filsafat!  |   
Yan  |    :  |    Filsafat   dari Hongkong?  |   
Rista  |    :  |    Dari   mesir!  |   
Yan  |    :  |    “Ris.   Aku jelasin ya. Ukuran dirimu sebagai cewek itu siapa yang menentukan?”  |   
Rista  |    :  |    “Yang   pasti bukan kamu. Ini ketentuan alami!”  |   
Yan  |    :  |    “Ukuran   kita sebagai Cewek, itu tapi tak lebih dari ukuran yang dibuat cowok-cowok. Coba   tanya sama mereka yang laki-laki (sambil   mengarahkan pandangan/menunjuk pada penonton), apa yang pertama kali   mereka lihat dari diri seorang perempuan??   |   
Rista  |    :  |    “Tanya   aja sendiri.”   |   
Yan  |    :  |    “Pasti   jawabannya fisik. Wajah cantik, tinggi, rambut panjang, hidung mancung, dada   seksi, pinggang langsing, pinggul seksi, kaki jenjang, paha mulus, bibir   sensual. Kalo ada yang liat cewek dari kepribadian, Bulshit!! Itu munafik!   |   
Rista  |    :  |    “Itu   cowok-cowok yang pernah kamu kenal. Nggak semua kaya gitu Ris.”   |   
Yan     |    :  |    “Cowok   lebih banggain penampilan ceweknya, daripada otak atau ketrampilan di luar   kamar. Apa yang mereka lihat pertama, itu yang jadi ukuran.  Bahagia-lah   cewek yang sampulnya bagus. Mereka pasti laris, jadi pusat perhatian, jadi   rebutan. Dan kalianpun pasti bangga kalo’ digituin. Kamu juga kan?”  |   
Rista  |    :  |    “Menurutku   nggak gitu-gitu banget. Ngobrol nyambung, becanda nyambung, chemistry   nyambung, saling berusaha mengerti, klik. Ya udah...”  |   
Yan  |    :  |    “Karena   kamu cakep. Coba kalo kamu item, gendut, mukanya nggak jelas hidung kemana   bibir kemana,. Kamu bakalan sibuk menata hati supaya tahan nggak diperhatiin.   Sibuk cari tempat training kepercayaan diri. Ya, kan? .... Rista Diam... Yan memanfaatkan lagi   situasi...  mendekati.. mengelus rambut   dan sebagainya... “Kamu   mungkin nggak sadar sayang... kamu tuh.. . sexy banget tahu nggak sih....” (Yan hampir mencium Bibir Rista).  |   
Rista     |    :  |    “Seksi   atau nggak, itu kan kodrat alam, bawaan lahir. Nggak salah, kan?!”  |   
Yan     |    :  |    “Cara   pikir kamu yang salah!”  |   
Rista     |    :  |    “Kok   aku yang salah?!”  |   
Yan     |    :  |    “Kalo   bukan kamu siapa? Pak Harto yang salah?  Kalo’   karena kamu itu seksi, semua cowok berebut, tanpa sadar kamu terdorong untuk   semakin sexy. Makanya Natasya, LBC dan sebagainya itu tambah rame. Terus,   cewek-cewek yang agak blurek pada sibuk menata hati dan kesabaran. Berarti cewek   sudah jadi korban?!”  |   
Rista     |    :  |    “Korban??   Korban apa? Korban siapa?!”  |   
Yan     |    :  |    “Ya   korban pikiran kotor cowok-cowok tadi!”  |   
Rista     |    :  |    “Apa   buktinya kalo cewek-cewek itu korban?”  |   
Yan     |    :  |    “Ngapain   mereka dandan? Ngapain rebonding, pake deodoran, sibuk cari pemutih wajah. Berburu   kosmetik dan baju biar seksi, sibuk ngurusin badan, sedot lemak, terapi ozon...untuk   apa? Ngapain juga banyak yang ikut-ikutan berpenampilan kayak artis? Biar   dilihat cowok, kan? Padahal ujungnya cowok Cuma pengen nidurin cewek, bikin   video bokep sendiri pake Hp.”  |   
Rista     |    :  |    “Bukannya   memang kodratnya kalo’ perempuan itu dandan, bersolek dan tampil seksi biar   dilihat orang lain?”  |   
Yan     |    :  |    “Lagi-lagi   kodrat!! Kodrat dari Mesir? Ris, kodrat itu bukan baju siap pake. Kodrat itu   adalah potongan kain yang gimana bentuk bajunya tergantung kita yang buat.   Kodrat itu pilihan, kita yang tentukan sendiri!”  |   
Rista     |    :  |    “Ya,   toh para cewek itu juga memilih seperti itu.”  |   
Yan     |    :  |    “Kalo   para cewek berusaha tampil cantik, cuma untuk dilihat orang, jadi objek   perhatian, tapi tanpa pernah tahu apa ia benar-benar cantik, itu berarti   kecantikannya cuma objek, yang diukur oleh kehendak orang lain. Kalo sudah   atas kehendak orang lain, itu berarati ia terjajah. Ia adalah korban!!”  |   
Rista     |    :  |    “Yan,   kamu tuh cuma iri nggak bisa dandan seksi, kan?”  |   
Yan     |    :  |    “Sori   ya! Aku nggak mau jadi korban. Aku nggak mau jadi objek ukuran orang lain.   Justru karena aku tahu gimana diriku, apa yang ada di otakku, makanya aku   membuat diriku sepatutnya. Kamu pernah baca buku Si Parasit Lajang-nya Ayu Utami? Ayu Utami yang memilih dan punya   10 alasan untuk nggak bakalan menikah, seperti itulah aku menentukan seperti   apa diriku. Aku nggak mau munafik. Aku nggak mau membuat cangkang yang cantik   di luar, tapi kosong di dalam. Aku mau mengendali-kan diriku sendiri.”  |   
Rista     |    :  |    “Aku   nggak ngerti maksudmu?!”  |   
Yan     |    :  |    “Inget   Ris. Kamu deket sama aku setelah kamu disakitin cowok. Aku jadi tempat   berlindung kamu. Nyatanya, sekarang hidupmu benar-benar jadi bergairah, kan? Dari   itu harusnya kamu paham, kalo sebenarnya bukan cowok yang kamu butuhkan. Mereka   yang butuh kamu, Artinya apa? Kalo para cewek kayak kamu nggak ada, para cowok   bakalan sengsara. Mereka nggak bakalan punya gairah hidup, nggak semangat, stres.   Kalo ada cowok habis lihat cewek seksi, terus horni, tapi nggak kesampean, terus   mereka ngapain?”  |   
Rista     |    :  |    (Diam sesaat) “Onani...”  |   
Yan     |    :  |    “Ya   itu, apalagi...? Onani! Konyol banget nggak sih cowok-cowok.”  |   
Rista     |    :  |    “Terus,   hubungannya sama jadi korban?”  |   
Yan     |    :  |    “Cewek   itu paling bisa nahan diri, nggak kayak cowok. Cowok yang harusnya jadi korban.   Jadi, kenapa cewek nggak menguasai dirinya sendiri sekaligus menguasai cowok?   Makanya, jangan terhanyut rayuan cowok! Buat mereka sengsara karena nafsunya   sendiri, sampai mereka nggak bisa menguasai dirinya sendiri!”  |   
Rista     |    :  |    “Kamu   gitu karena kamu sendiri pernah kecewa sama cowok, kan?”  |   
Yan     |    :  |    “Ah,   itu nggak penting, Ris!”  |   
Rista     |    :  |    “Ngaku   aja, Yan. Kamu sebenarnya nggak bisa mungkir kalo’ kamu butuh cowok. Tapi   kamu terlanjur kecewa, makanya kamu kayak gini sekarang.”  |   
Yan     |    :  |    “Apa   buktinya?”  |   
Rista     |    :  |    “Kamu   milih jadi kaya cowok ketimbang jadi cewek tulen, yang bisa dandan. Bukan-nya   kalo kamu jadi kayak cowok kamu malah jadi korban kayak yang kamu bilang   barusan? Kenapa kamu nggak jadi cewek yang justru bisa menguasai?!”  |   
Yan     |    :  |    “aku   pengen tetap bisa menikmati sekaligus menguasai!”  |   
Rista     |    :  |    “Nggak!   Di balik dua dada yang berusaha kamu tutupi itu, tetap ada gejolak untuk bisa   dielus, digerayangi cowok. Di balik celana jins yang kamu pake, tetap ada   hasrat yang cuma bisa dipenuhi cowok. Tapi kamu berusaha ngelawannya, karena   dendammu sama cowok lebih besar. “  |   
Yan     |    :  |    “Tapi   toh aku masih bisa puas sama cewek kayak kamu?”  |   
Rista     |    :  |    “Tapi   semu!! Aku nggak yakin apa kamu benar-benar puas bercinta sama aku. Aku malah   yakin, kalo kamu masih masturbasi memenuhi gejolakmu, seperti halnya cowok2 onani.   Ya, kan?!” (Yan tidak merespon.   Hening... Kemudian Rista mengemasi barang-barangnya sambil meneruskan   kata-katanya.) “Sudahlah,   Yan. Aku capek berdebat sama kamu. Aku nggak mau lagi menipu diri sendiri. Nggak   peduli itu kodrat atau pilihan. Nggak peduli aku jadi korban atau bukan. Aku   masih butuh laki-laki, sekarang! Seperti saranmu, aku memilih atas kehendakku   sendiri. (Rista beranjak pergi. Yan   menahannya.)  |   
Yan     |    :  |    “Ris,   kamu nggak ngerti Ris. Aku nggak akan pernah berhenti mencintaimu. Aku nggak   akan pernah rela kamu mencintai cowok!”  |   
Rista  |    :  |    Rista berusaha melepaskan cengkeraman   Yan. “Jujur,   Yan.., aku juga masih sayang kamu. Tapi aku harus lebih menyayangi diri-ku   sendiri!”  |   
Yan     |    :  |    “Kamu   nggak akan bisa mengelak dariku, Ris. Kamu akan selalu ingat apa yang telah   kita lalui bersama. Itu akan selalu meng-hantuimu!”  |   
Rista     |    :  |    “Aku   nggak peduli dengan segala ingatan itu. Biar itu jadi masa lalu kita   masing-masing!” (Rista melepaskan   cengkeraman Yan dan pergi meninggalkan Yan sendiri.)  |   
Yan     |    :  |    Lantang, ke arah sisi panggung tempat   Rista keluar dan menghilang.  “Kita   lihat Ris, siapa yang lebih kuat dan bisa menguasai! Aku, kamu, atau cowok-cowok   bangsat itu. Aku yakin, kamu pasti kembali padaku! (Yan menghempaskan kursi, lalu bergumam..)  |   
Lampu   meredup, diikuti lagu. Muncul penari-penari bertopeng, menari dengan maksud   tak jelas  |   ||
Lagu   #2 (Yang   tak jelas)  |    :  |    Mana   jantan, mana betina Keduanya   sama tak jelas rupa Mana   jantan mana betina Keduanya   sama hendak berkuasa Mana   jantan mana betina Saat   dharma berbalik karma Tak   ada satu punya makna  |   
#3 Lampu   terang, full stage.  Sebuah cafe. Tampak sepasang sejoli   sedang duduk menikmati wedhang ronde dengan makanan khas angkringan. Ada sate   usus, tahu, tempe & nasi kucing pastinya. Tiba-tiba, dari pintu masuk   penonton, masuk seorang bencong cantik dan atraktif, Anggi namanya. Membawa   alat musik khas kalangan mereka. Serta merta ia menyapa penonton.  |   ||
Anggi     |    :  |    “Halo   mbak, mas, om... sori ne Ek ganggu. Lagi pada asyik ya... Sori ye, Ek cuma   mau numpang ngamen. Tadi waktu Ek lewat depan sini, Ek lihat rame-rame. Ek   pikir pada mau kumpul kebo, e..ternyata kumpulan kebo, pada mau nonton boneka.   He, sori! Ee..pak sutradara, sori ye, Ek nyela benta...ar aja. Itung-itung   bagi-bagi rejeki, bo! (ada sahutan dari   penonton, jawaban sang sutradara)  Mulai,   ye...??” (Anggi mulai memainkan alat   musiknya,  melantunkan lagu Jablai yang diubah liriknya & berjoged,   diiringi musik panggung.)  |   
Lagu   #3 (Si   imron letoy)  |    :  |    Swer   ewer ewer dubrak! Waktu   tamasya, di Gembira Loka Pulang-pulang   ku kenal si dia Tawar-menawar   ku janjian, sayang... Harga   gopek, au! di hotel berbintang Reff: *)  Lay   6X, imronnya tenyata letoy Lay   6x, jadinya cepat lunglai Lay   6x, imronnya ternyata letoy Lay   6x, Ek nggak jadi asoy Nggak   bisa-bisa, dia tetap maksa Terus-terusan   dielus imronnya Juga   minum obat kuat dia, sayang... Tapi   tetap tu, si imron kepayang...  |   
Anggi     |    :  |    “Makasih   ye, pak sut. Sawerannya, mas, mbak...?” Anggi menyeruak ke arah penonton,   minta saweran jasa ngamen. Sesekali ia menggoda penonton, yang laki-laki   ataupun perempuan, dengan genit dan nakal. Setelah puas dengan penonton, ia   beranjak keluar ke arah pintu ia masuk. Tapi tidak jadi.  “Adu..uh,   yang di tengah lupa. Sayang, bo. Siapa tahu bisa genep dapetnya, bisa nambah-nambah   beli komunikator” (Anggi mendekati para   pemusik, minta saweran. Dia melayani godaan para pemusik. Setelah itu, ia menghampiri   dua sejoli tadi.) “Sori,   mbak, mas...ganggu. Sawerannya, dong...?” (Tiba-tiba) “Ya,   ampow...mas Hasto. Ii..ih, nggak nyangka de, Ek ketemu mas di sindang. (sesaat melihat pasangan Hasto) Ye.., ganti pasangan lagi ne, mas?   Seingat Ek, habis sama Rista, mas Hasto sama Mira, kan? Dah bosen ye, sama   Mira??”  |   
Hasto     |    :  |    Berbisisk keras “Hus,   ojo seru-seru, no!! Ndak konangan!!    |   
Anggi     |    :  |    “Ah,   mas Hasto ne sok malu, jaim... padahal biasanya malu-maluin. Kenalin dong,   mas...?”  |   
Hasto     |    :  |    “Yo!   Lin, ini Anggi. Nggi, ini Lilin...”  |   
Lilin     |    :  |    “Lilin...”  |   
Anggi     |    :  |    “Lilin?   Lilin-lilin kecil? He... namanya uneng de bo. Ek, Anggi.”   |   
Lilin     |    :  |    “Anggi   siapa?”  |   
Anggi     |    :  |    “Anggi   Putri, he... eh, tapi aslinya se, Anggito. Ha, ha...”  |   
Hasto     |    :  |    “Kamu   tambah cantik aja, Nggi?”  |   
Anggi     |    :  |    Sambil menarik kursi di meja sebelah. “Ah,   mas Hasto ne bisa aja...Biasa lah, mas..banyak pelanggan. Jadi aku harus jaga   penampilan. Biar nggak pada kabur tu, lumbung maniku.” (Ke arah Lilin) “Dah   lama ya, jalan sama mas Hasto? Gimana? Hot nggak, dia? Eh, kalo sama mas   Hasto tu, ye harus strong. Mas Hasto tu maniak bo! Nggak ada yang bisa   ngalahin dia! Kecuali...” (genit)  |   
Lilin     |    :  |    “Kecuali,   siapa??”  |   
Anggi     |    :  |    “Kecuali...Ek!   He...”  |   
Hasto     |    :  |    “Pacar   kamu sekarang siapa, Nggi??”  |   
Anggi  |    :  |    “Pacar?   Ehmm..., banyak se mas.  |   
Hasto  |    :  |    “ya   yang resmi dong...”  |   
Anggi     |    :  |    “O..   resminya se, ya.. banyak juga! He... maklum lah, Ek kan AC-DC. Jadi bisa   bolak-balik. Dayaku estede, 900 watt. Tergantung instalasinya, mau seri   boleh... paralel, siapa tekut...! Sayang kan, daya segitu nggak dimanfaatin”   (Tiba-tiba nada dering HP Lilin   berbunyi.)  |   
Lilin     |    :  |    “Ya,   Sher? O.., kalian dah pada kumpul? .... semua? Ok, deh. Aku ntar lagi nyusul,   gabung sama kalian. Tunggu, ya? Daa...aag. Mmmuach!”  (HP dimatikan. Berkata pada Hasto, manja) “Yang,   sori ya...temen-temen dah pada ngumpul ne, di tempat Sherly. Acaranya dah mau   dimulai. Aku pergi dulu ya, nyusul mereka. Nggak pa-pa, kan?”  |   
Hasto     |    :  |    “ya   udah mas anter aja.?”  |   
Lilin     |    :  |    “Nggak   usah, mas. Aku naik taksi aja. Lagian mas kan ada janji, dari-pada ntar   telat, kan jadi nggak enak. Aku pergi sendiri aja, gapapa kok. Ok??”  |   
Hasto     |    :  |    “Ya,   udah. Kalo Lilin bisa pergi sendiri ga papa. Tapi ati-ati, ya...? Kalo ada   apa-apa, bilang.”  |   
Lilin     |    :  |    “Ok!   Nanti kalo sudah sampe di tempat Sherly, Lilin telphon. Lilin pergi dulu ya..?”   (Berdiri menenteng tasnya. Mendapat   ciuman dari Hasto, lalu beranjak pergi meninggalkan Hasto dan Anggi.)  |   
Hasto     |    :  |    “Gimana   Nggi Lilin, menurutmu? Sip, nggak??”  |   
Anggi     |    :  |    “Wah,   kalo model gitu sih, Ek rela make tongkat Ek, mas..! Mata sama bibirnya,   gilang bo! Seksi banget!! Bodinye apalagi...! Nemu di mana mas?”  |   
Hasto     |    :  |    “Dia   itu dulu pacarnya temenku. Waktu pertama kali temenku ngenalin aku sama dia,   aku sudah mulai suka. E..ternyata dia juga suka sama aku. Lama-lama, kita   makin dekat. Awalnya biasanya aja, terus kita jalan, kencan, &   macam-macam...”   |   
Anggi     |    :  |    “Macam-macam?   Maksudnye...? Ii...ih, pasti gitu deh, mas Hasto. Terus, temen mas itu, gimana?   Tahu, nggak?!”  |   
Hasto     |    :  |    “Pertamanya   sih, dia nggak tahu. Lilin pinter juga akting. Kalo sekarang, aku nggak tahu   pasti dia ngerti nggak. Pengakuan Lilin sih, mereka sudah putus.”   |   
Anggi     |    :  |    “Lha   selama ini, mas Hasto sama temen mas itu, gimana?”  |   
Hasto     |    :  |    “Ya   biasa aja sih,..kayak nggak ada apa-apa. Kita masih teman.”  |   
Anggi     |    :  |    “Mas,   rahasianya apa se, kok bisa tahan ganti-ganti gitcu?”  |   
Hasto     |    :  |    “Rahasia?   Ah, nggak ada. Aku nggak pake macem-macem. Aku cuma pake KHARISMA!”  |   
Anggi     |    :  |    “Kharisama?!   Maksudnye, apa mas?! Anggi nggak ngerti, de..!”  |   
Hasto     |    :  |    “Nggi,   sebagai cowok, aku butuh cewek. Hidup kita tu rasa-nya kosong kalo nggak ada   makhluk yang namanya wanita. Wanita itu...energi, motivasi, atau pembuluh   bagi darah kita. Pokoknya, wanita itu harus ada untuk laki-laki. Sebaliknya,   wanita tu nggak akan ada artinya tanpa ada laki-laki. Dalam hal ini, keduanya   sama-sama punya kepentingan. Tapi, kita sebagai lelaki harus jaga imej,   jangan sampe keliahatan banget kalo kita butuh wanita. Tapi sebaliknya, gimana   caranya biar mereka yang merasa nggak ada artinya kalo nggak punya lelaki.   Nah, supaya mereka bisa menentukan mana yang mereka mau atau pilih, kharisma   diri kita berbicara...”  |   
Anggi     |    :  |    “Ooo,   bule..et. gitcu, to... tapi, kalo orang kayak Ek gindang, gimana mas? Ada   kharismanya, nggak?”  |   
Hasto     |    :  |    “Ye,   kalo ente sih, karena AC-DC, kayaknya nggak perlu tu kharisma. Kan bisa   hermaprodit, biar dapet dua-duanya”  |   
Anggi     |    :  |    Tertawa genit. “Ember....!   Ehmm.. tapi mas, pernah nggak, merasa disetir, dikendali-kan, atong merasa   sangat bergantung sama cewek? Misal, kangen Ek, gindang. He...”  |   
Hasto     |    :  |    “Ya,   kalo itu sih pasti pernah. Rasanya nggak enak! Kesel, tapi juga butuh. Aku nggak   bisa nyangkal, kadang sebagai laki-laki, suatu saat kita juga butuh dimanja,   butuh perhatian, dan pastinya, butuh layanan mereka juga...”  |   
Anggi     |    :  |    “Layanan?   Maksudnye, servis..?!”  |   
Hasto     |    :  |    “Huss,   ojo cethek ngono pikirane! Maksudnya, ya perhatian mereka kalo pas kita butuh   sesuatu. Dibeliin kaos kaki kalo pas punya kita dah bolong. Dibeliin pasta   kalo punya kita pas habis dan gigi kita dah berkarat. Diperhatikan penampilan   kita. Atau yang lainnya...”  |   
Anggi     |    :  |    “Tapi   termasuk servis luar dalam, kan...? Ya, kan? (2x)”  |   
Hasto     |    :  |    Sedikit berbisik. “Ya,   kalo itu sih, tempo-tempo...secelup dua-celup, boleh lah...” (Keduanya tertawa)  |   
Anggi     |    :  |    “Mas,   pernah nggak, punya hasrat, seneng sama seorang cewek, tapi mas nggak bisa   dapetin tuh cewek? Apa yang mas rasain?”  |   
Hasto     |    :  |    “Ya,   pasti pernah, lah... Rasanya, ya tadi itu. Nggak enak! Kayak kalo kita pingin   be’ol, tapi nggak kesampean. Kagol!   |   
Anggi     |    :  |    “Terus,   mas ngapain kalo dah gitu?! Pasti...”  |   
Hasto     |    :  |    “Pasti   apa?!”  |   
Anggi     |    :  |    “Pasti   nyabun, kan...?! He...”  |   
Hasto     |    :  |    “Ye,   itu sih ente...” (Keduanya tertawa) “Tapi   gimana, ya... aku juga kadang nggak habis pikir, kenapa laki-laki tetap harus   bergantung sama cewek, meski untuk beberapa hal. Ter-utama untuk masalah   perasaan, hati atau hasrat! Apa karena laki-laki dilahirkan oleh perempuan,   ya?”  |   
Anggi     |    :  |    “Ah,   kalo itu sih, Ek bisa jelasin mas! Gampang! Semuanya karena takdir dan   alamiah!!”  |   
Hasto      |    :  |    “Takdir?   Alamiah? Maksudmu?!”  |   
Anggi     |    :  |    “Begindang   mas, secara biologis, dalam tiap sel tubuh setiap makhluk hidup tu kan ada   kromosom, tempatnya gen. Kita, manusia ne, punya 23 pasang kromosom. Salah satunya   adalah kromosom sex, yang menentukan jenis kelamin kita apa, gitcu... Kalo   kromosomnya XX, jadi cewek. Kalo XY, jadinya lekong. Nah, itu artinya, setiap   lekong tu bawa satu kromosom X, yang sebenarnya  penentu kelamin wanita. Terong, kromosom Y tu   sebenarnya asalnya dari kromosom X, tapi mengalami de-gra-da-si, ter-ki-kis,   so gennya jadi lebih sedikit, en... menyebabkan terbentuknya ‘tongkat’ pada   lekong. So, wajar kalo mas Hasto yang lekong merasa sangat bergantung pada   cewek-cewek, cos di dalam tubuh mas Hasto tu ada unsur ceweknya. Gitcu....”  |   
Hasto     |    :  |    “Wah,   nggaya tenan... lu tahu dari mana penjelasan kayak gitu, Nggi?”  |   
Anggi     |    :  |    “Eeit,   jangan salah bo... ginong-ginong, Anggi ni pernah jadi maha-siswa jurusan   biologi salah satu perguruan tinggi negeri di Yogya, bo. Kampus Ek tu, kulon   jalan Affandi, yang dulu jalan Gejayan.. en, satu lagi. IPK Ek tu, semi-kum   lau-de. Maklum, Ek kan suka yang semi-semi. En, kebetulan Ek paling suka sama   materi reproduksi dan genetika. So, penjelasan gitcu se.., keci...il”  |   
Hasto     |    :  |    “Kalo   gitu, kamu jadi kayak gini juga karena kromosom-X, itu??”  |   
Anggi     |    :  |    “Embe..er,   kali ye...”  |   
Hasto     |    :  |    “Tapi,   kenapa laki-laki terus jadi bisa berkuasa, terkesan dominan, seolah posisinya   lebih tinggi daripada perempuan?”  |   
Anggi     |    :  |    “Ye,   itu si tergantung gayanya mas... Kalo ceweknya yang di atas, kan posisinya   lebih tinggi cewek. Lain lagi kalo dogi stail atong 69. Ya, kan...? He, sori   ngelancong... Gindang mas, kalo masalah lebih ber-kuasa ato nggak, itu se   masalah kutang...eh, kultur maksudnya, en juga pilihan.   |   
Hasto     |    :  |    “Kultur   dan pilihan? Maksudnya??”  |   
Anggi     |    :  |    “Ii..ih   mas Hasto ne, masak gitu aja nggak ngerti. Makanya baca, dong..! Buka internet..!   Kalo urusan bra aja, ahli! Cape, de..eh! Jangan gila, dong! Maksudnya kultur   en pilihan tcu..cos di habitat kita ne, kebanyakan masyarakat menganut budaya   pa-tri-(y)ar-khi, dimana lekong tu dianggap lebih tinggi duduknya dibanding   wanita, jadinya ya itu, laki-laki jadi merasa lebih berkuasa, lebih do-mi-no,   dominan maksudnya...Padahal, sebenarnya, domino nggaknya tu tergantung   pilihan. Ati-ati mas, cewek bisa aja suatu saat menunjukkan kekuasaannya,   memilih en melakukan sesuatu yang bikin ye nangis, malu ato ngerasa nggak   punya harga diri. Dia berpaling, atau parah-nya, selingkuh misalnya. Ato, dia   minta dilayani terus, tapi ye dah nggak kuat lagi, letoy! Ye akan merasa kedubrak!   Jatuh bo! Terpuruk!”  |   
Hasto     |    :  |    “Ah,   kalo itu sih, kayaknya nggak mungkin terjadi. Selama kita, para lelaki masih   punya kharisma, aku yakin justru para wanita itu akan klepek-klepek, tunduk   dan menurut sama kita.”  |   
Anggi     |    :  |    “Ya,   terserah menurut mas Hasto se..Anggi cuma ngingetin. Siapa tahu, Lilin mendua   tapi mas Hasto nggak tahu. Jangan nyesel lho..?”  |   
Hasto     |    :  |    “Lilin?   Selingkuh? Ah, nggak mungkin! Dia nggak bakalan sanggup pisah sama aku.   Sebaliknya justru , aku yang bisa gitu. Ah, bukan selingkuh. Biar lebih   halus... ber-pa-ling... Ya, kan?”  |   
Anggi     |    :  |    “Au,   ah.. cape de..eh” (HP Anggi berdering) “Yuk,   Yan...ada apa, say?” (Tiba-tiba Anggi   dan Hasto freze)  |   
Lampu berubah, berganti dengan siluet   di salah satu sudut panggung dan spot di tengah, tepat di bagian Anggi.   Siluet:; tampak Yan seperti orang sakau, menelphon Anggi. Musik tajam.   |   ||
Yan      |    :  |    “Git,   tolong aku.. Temani aku, Git! Aku nggak sanggup! Aku hilang rupa! Aku hilang diriku!   Aku nggak tahu siapa lagi aku! Nafasku kandas, lari bersama Rista, tenggelam   bersama kenanganku bersamanya. Cuma kamu sekarang yang kupunya, Git. Tolong   temani aku! Cepat, Git!!   |   
Lampu berubah, musik langsung off dan   seketika terang kembali, full stage. Hasto dan Anggi off-freze  |   ||
Anggi     |    :  |    “Yuk,   say... Ek kesandung sekarang...” (Tiba-tiba   HP Hasto ganti yang berdering)  |   
Hasto     |    :  |    Kaget campur heran “Hai!!   Ada apa, tumben!??”  |   
Lampu tiba-tiba berubah lagi,   berganti dengan siluet bayangan di satu sudut panggung yang lain dan spot di   tengah. Kali ini tepat di bagian Hasto. Siluet:; bayangan sesosok perempuan   seksi, dengan lekuk tubuh amat kentara. Sosok itu menelphon Hasto, dengan   sesekali mendesah, dan bergerak menggoda. Musik tajam, cenderung musik pub/klab   malam.  |   ||
Sosok     |    :  |    “Has...aku   kangen! Aku butuh kamu! Aku ingin di dekatmu! Apa kamu nggak kangen has?..   hari-hariku semakin dingin. Hangatku aku, seperti dulu, ketika salju-salju   meleleh begitu saat kita menyatu! Temui aku, Has!   |   
Lampu berubah.  Musik jadi  lembut. Slow motion, tampak Hasto dan Anggi   saling memberi salam ber-pisah, diirningi lampu yang meredup dan musik   fade-out.   |   ||
#4 Di sebuah kamar, Hasto dan Rista   berdansa. Rista cantik dan seksi saat itu. Bajunya sungguh minimalis, dengan   stelan bawahan yang tinggi di atas lutut. Sedang gaun atasnya, sungguh elegan   tapi menggiur-kan. Musik mengalun romantis, dengan gesekan biola lembut.   |   ||
Lagu   #4 (The   simple night)  |    :  |    In   this simple night When   the half-moon unfaces And   wind lazy winds My   mind on flying Breaks   through these memories Are   those brightly ones? Or   ones in greyness...? Nothing   can explain No   one would remain... In   this simple night The   memoirs break my wakeness Which   is down-laying  For   the next simple night? Or   the complicated ones..? Nothing   can explain No   one would remain...  |   
Irama melodi masih mengalun lembut,   samar, mengiringi percakapan  mereka...  |   ||
Hasto     |    :  |    “Ris,   Kenapa kita ketemu lagi? Padahal, dulu kau janji untuk tidak pernah melihat   wajahku lagi.”  |   
Rista     |    :  |    Manja “itu   bukan janji, itu emosi, penakit remaja. Membuatku gelap mata, menipu diri   sendiri. Sekarang, kenapa aku ingin didekatmu lagi, karena aku mau meretas   kembali benang kenangan yang dulu pernah kita rajut indah.”  |   
Hasto     |    :  |    “Berarti   kamu memaafkan aku?   |   
Rista     |    :  |    “Apa   harus dijawab??”  |   
Hasto     |    :  |    “Berarti,   kamu juga sudah melupakan semua yang telah terjadi??”  |   
Rista     |    :  |    “Tentang   apa yang kamu lakukan? Tentang Mira, dan Lilin? Ah, buatku, semua adalah   angin lalu, yang hanya menghempas, membadai sesaat. Tapi akan hilang   seketika, saat ia mendapatkan ruang kosong. Bukankah sifat angin memang   seperti itu?”  |   
Hasto     |    :  |    “Terus,   apa yang kamu harapkan sekarang dariku?”  |   
Rista     |    :  |    “Seperti   kubilang tadi, aku ingin meretas kembali benang kenangan yang dulu pernah   kita rajut. Kamu mau kan, memberikan ujung utas  benang itu?”  |   
Hasto     |    :  |    “Apa   aku punya alasan untuk menolak? Ris, meskipun aku sudah melihat dan bahkan   menikmati yang lain, yang kupikir mereka lebih darimu, ternyata aku salah.   Ada banyak hal di dirimu yang tak bisa tergantikan, yang nggak mereka punya,   aku merasa kehilangan.”  |   
Rista     |    :  |    “Kehilangan?   Misalnya?”  |   
Hasto     |    :  |    “Ah,   apa harus dijelaskan? Aku yakin kamu memahaminya.”  |   
Rista     |    :  |    “Apa   kamu yakin? Aku merasa kamu mengatakan itu hanya karena kamu ada di dekatku sekarang.”  |   
Hasto     |    :  |    “Maksudmu?”  |   
Musik fade-out. Rista tiba-tiba   melepaskan tubuhnya dan menyudahi dansa mereka. Lalu, ia menuju meja, menuang   segelas minuman, dan duduk di sofa menikmati minuman itu.   |   ||
Rista     |    :  |    Tersenyum, menyindir... “Aku   tahu siapa kamu, Has. Aku tahu gimana perasaanmu. Saat ini kamu nggak bisa membuang   Lilin dari hati dan pikiranmu. Kamu terobsesi sama dia. Dan kamu nggak bisa   bohong soal itu.”   |   
Hasto     |    :  |    Masih berdiri “Kamu   cemburu??”  |   
Rista     |    :  |    Tertawa kecil, seolah mengejek.. “Cemburu??   Ha, ha...buat apa cemburu sama dia? Nggak ada alasan. Heh, buatku dia bukan   sainganku di depan cowok manapun. Karena aku yakin, aku lebih cantik dibanding   dia... Dan cowok-cowok itu akan lebih memilihku daripada dia. Kamu contohnya!   Ya, kan?!”  |   
Hasto     |    :  |    Beranjak ke belakang kursi tempat   Rista duduk. Berdiri, sambil mendekap bahu Rista dan mendekatkan mulutnya ke   telinga perempuan itu. “Dia   istimewa dan menyita perhatianku. Tapi, aku juga nggak bisa pungkiri, kalo   kamu sungguh luar biasa dan sulit tergantikan. Nggak ada yang bisa   menyaingimu.”  |   
Rista     |    :  |    “Sulit   tergantikan?? Ah, aku nggak percaya! Aku yakin, seandainya sekarang ada   Lilin, kamu nggak berani sedekat ini sama aku. Malah, kamu sudah mengusirku,   mungkin!” (Melirik ke arah Hasto) “Tapi   it’s OK! Bagiku nggak masalah kamu tetap akan memilih Lilin dan mencampakkan   aku. Aku juga nggak berharap kamu mau balik sama aku lagi. Meski aku yakin,   kamu tetap nggak akan pernah bisa nolak untuk bersenang-senang sama aku.   Makanya, aku minta kamu menemuiku sekarang. Aku pingin...” (Tiba-tiba Rista berdiri, menarik tubuh   Hasto dan menghempaskannya di sofa. Lantas Rista duduk di atas pangkuan dan   menghadap Hasto. Ia menggoda lelaki itu  dengan membelai wajah, rambut, dada dan   lehernya. Lalu, perlahan ia mulai membuka (kancing) gaunnya...) “Aku   pingin, kita mengingat kembali kenangan indah yang pernah kita rajut dulu.   Kenangan berupa kesenangan yang banyak dicari orang...” (Perlahan, Rista mendekatkan bibirnya ke bibir Hasto. Laki-laki itu   tak berkutik. Tapi justru hanyut belaian Rista. Tanggannya mulai meraba   pakaian bawah Rista, hingga kulit paha yang mulus itu tersibak.)   |   
Tiba-tiba lampu padam! Musik fade-in,   kembali lagu The Simple Night mengalun. Perlahan, lampu menyala remang, tapi   tidak sampai menerangi dua sejoli yang sedang asyik masygul itu.  Musik fade-out. Pelan, lampu kembali   spot di kamar tadi. Tampak Hasto terbaring di sofa bertelanjang dada, rambut   kusut masai, ikat pinggang belum diikatkan. Ia memegang gelas minuman sambil   memperhati-kan Rista yang sedang merapikan make-up dan rambutnya. Rista pun   lalu membenahi pakaian-nya yang masih terbuka sebagian.   |   ||
Hasto     |    :  |    “Kamu   tidak ingin sedikit lebih lama menemaniku dulu di sini? Ayolah, Ris..? Kenapa   mesti buru-buru?”  |   
Rista     |    :  |    “Satu   keinginanku sudah kudapat. Ku pikir untuk apa aku lama-lama di sini? Di luar   sana, aku bisa mendapat kesenangan yang lain. Kalo kamu ingin ditemani,   kenapa kamu nggak coba minta Lilin melakukannya? Siapa tahu, dia memang lagi   pengen sama kamu dan tidak sedang sama yang lain...”  |   
Hasto     |    :  |    Terperangah terkejut, mengernyitkan   dahi. Lalu bangkit duduk. “sama   yang lain? Maksudmu?!”  |   
Rista     |    :  |    “Hasto,   Hasto, kasihan kamu. Selama ini kamu merasa bisa menguasai para cewek, tapi   sebenarnya kamu itu nggak ada apa-apanya!” (Tersenyum, seoalh mengejek) “Kamu   ingat, waktu aku telphon kamu kemarin? Aku bilang kalo aku punya sesuatu yang   aku yakin kamu mau melihatnya.” (Mengambil   HP nya dan menyerahkannya ke Hasto) “Ini!   Coba buka menu video, buka file judulnya JROT! Perhatikan dan nikmati rekaman   itu” (Masih keheranan, Hasto mengikuti   apa yang dikata-kan Rista. Setelah berhasil menemukan apa yang dimaksud,   Hasto membela-lakkan matanya melihat apa yang ada di rekaman HP itu)  |   
Tiba-tiba, di sisi seberang panggung.   Tampak Lilin sedang bercumbu dengan seorang lelaki! Sesekali Lilin mendesah,   melenguh, dan tertawa cekikikan.   |   ||
Hasto     |    :  |    Tampak menahan marah “Dari   mana kamu dapet rekaman ini, Ris?!”  |   
Rista     |    :  |    Menarik Hpnya dari tangan Hasto “Kenapa?   Kamu nggak percaya sama rekaman ini? Kamu sangsi dari mana sumbernya? Sayang,   dari mana aku dapatnya, kupikir itu nggak penting. Yang lebih penting sekarang   adalah, kalo kamu ingin bukti, kenapa kamu nggak tanya Lilin? Ya, kan??” (Menyentuh pipi Hasto dan tersenyum seakan   mengejek.) “OK,   keinginan keduaku sudah terpenuhi. Aku mau cari kesenangan yang lain dulu,   ya...? Selamat bersenang-senang juga! Mmuaa...ach!!” (Rista pergi meninggalkan Hasto)  |   
Hasto     |    :  |    “Ris,   tunggu, Ris!! Aku butuh penje...” (Gusar) Lampu berubah  |   
#5 Lampu spot di salah satu sisi   panggung. Tampak Hasto gusar menahan marah. Sedang di sisi panggung depannya,   gelap. Tampak dua sosok sedang bergerak-gerak di atas sofa. Lalu Hasto mengetuk   pintu.  |   ||
Hasto     |    :  |    Tok 5x “Lin!   Buka pintunya, Lin! Ini aku, mas Hasto! Buka, Lin!”  |   
Suara   wanita  |    :  |    “Ya,   sebentar.” (Tampak sesosok perempuan   muncul dari sisi panggung yang gelap menuju pintu tempat Hasto berdiri. Dia   Lilin, mengenakan pakaian tidur yang menggoda, dengan rambut tergerai sedikit   acak-acakan. Lalu, (seolah) ia membukakan pintu) “kenapa,   mas?! Kok kayaknya lagi marah gitu. Marah sama siapa? Kenapa?”   |   
Hasto     |    :  |    Marah  “Nggak   usah pura-pura Lin! Kamu selama ini ternyata bohong! Di depanku aja kamu   bertingkah manis, manja, nurut, kelihatan setia...Tapi di belakangku, kamu   main sama cowok lain, Ya, kan? Ngaku aja!!”  |   
Lilin     |    :  |    Tampak tenang,tapi terlihat mengejek. “Oo..oh,   itu? Mas, bukannya aku yang harusnya minta kamu terus terang, ngaku, sama cewek   mana aja mas kalo nggak pas sama aku??”  |   
Hasto     |    :  |    “Apa   maksudmu?!”  |   
Lilin     |    :  |    “udahlah   mas, ngaku aja, biar gampang! Mas kemarin kangen-kangenan sama Rista lagi,   kan?? Apa aku harus kasih liat video rekaman waktu mas sama Rista kemarin,   sebagai bukti..?? Tuh, masih kusimpan di HP!”  |   
Hasto     |    :  |    “Kurang   ajar!! Kamu mau menjebakku?!” (Mencengkeram   bahu Rista. Tiba-tiba muncul suara dari sisi panggung yang gelap)  |   
Suara     |    :  |    “Jangan   coba-coba sakiti Lilin! Lepaskan tanganmu!” (Sisi panggung gelap perlahan terang. Sekarang tampak jelas siapa yang   bersuara. Anggito, si bencong yang menjadi sosok aslinya sebagai laki-laki)  |   
Hasto     |    :  |    Terkejut “Kamu!!”  |   
Anggito     |    :  |    “Kenapa?   Kaget?? Bukannya Anggi pernah bilang ke kamu, hati-hati sama cewek. Nanti   kamu bisa kedubrak, jatuh!”  |   
Hasto     |    :  |    Marah  “Bangsat!!   Kalian mau mainin aku!” (Tiba-tiba   Hasto menyerang Anggito. Terjadi perkelahian antara keduanya. Al akhir, Hasto   kalah, ia ter-kapar dihajar Anggito. Dia tersungkur di lantai.)  |   
Anggito     |    :  |    “Has,   kamu lihat! Lilin sudah memilih bersamaku. Dan kamu nggak punya hak apa-apa   atas dia. Malah, sekarang kamu nggak ada apa-apanya, nggak bisa apa-apa. Kamu   terpuruk! Mana kharismamu? Gimana rasanya dicampakkan? Coba tanya ke Rista,   apa rasanya sama??” (Tersenyum mengejek)  |   
Hasto     |    :  |    “Bangsat!!   Awas kalian semua!!” (Pergi   meninggalkan Anggito dan Lilin yang menertawakannya.) Lampu   redup.   |   
#6 Lampu spot di salah satu sisi   panggung. Tampak Hasto gusar menahan marah bercampur sakit setelah dihajar   Anggito. Sedang di sisi panggung depannya, gelap. Tampak dua sosok sedang   bergerak-gerak di atas sofa. Lalu Hasto mengetuk pintu.  |   ||
Hasto     |    :  |    Tok 5x “Ris!   Buka pintunya, Ris! Ini aku! Buka, Ris!”  |   
Suara   wanita   |    :  |    “Ya,   sebentar.” (Tampak sesosok perempuan   muncul dari sisi panggung yang gelap menuju pintu tempat Hasto berdiri. Dia   Rista. Lalu, (seolah) ia membukakan pintu) “kenapa,   Has? Kenapa kamu? Kok kayak habis diamuk massa??”  |   
Hasto     |    :  |    Tiba-tiba mencengkeram bahu Rista,   marah. “Apa   yang kau lakukan sama aku, Ris?? Apa mau kamu?! Apa maksud-kamu??” (Tiba-tiba muncul suara dari sisi panggung   yang gelap)  |   
Suara     |    :  |    “Lepasin   tanganmu!! Jangan cari perkara!!” (Sisi   panggung gelap per-lahan terang. Sekarang tampak jelas siapa yang bersuara.   Yan, si perempuan-lelaki pacar Rista.  |   
Hasto     |    :  |    Terkejut  “Ris?!   Kamu..?!”  |   
Rista     |    :  |    “Kenapa?   Kaget? Heran? Kamu pikir kesenangan cuma dari kamu? Kamu salah, Has!! Salah   besar!!”  |   
Hasto     |    :  |    “Kurang   ajar!!” (Tiba-tiba Hasto hendak berbuat   kasar pada Rista. Tapi Yan buru-buru melindungi Rista. Terjadi perkelahian   antara Hasto dan Yan. Lagi-lagi, Hasto kalah dan tersungkur di lantai terkena   pukulan Yan.)   |   
Yan     |    :  |    “Jangan   pernah berpikir kau bisa seenaknya nyakitin cewek! cowok bisa disakiti! Ini   buktinya! Kamu kalah!!”   |   
Hasto     |    :  |    “nggak!   nggak! Aku nggak akan kalah! Apalagi disakitin cewek! Lihat aja, kalian bakal   nerima balasannya!” (Hasto pergi   meninggalkan Yan dan Rista, yang tersenyum mengejeknya.) Lampu   berubah.  |   
#7 Gending Jawa bernuansa Rock, sedikit   distorsi tanpa lirik. Lampu spot di tengah panggung. Tampak sosok Hasto duduk,   merangkak mundur ke arah penonton, seperti orang ketakutan bercampur marah. Sesekali   lampu tampak berkilat.   |   ||
Hasto     |    :  |    “Drupadi!   Mengapa kau lakukan ini padaku?! Bukankah kau ingat, aku hanya menjalankan   perintah untuk menelanjangimu.. Tapi kenapa hanya aku yang mengalami ini?   Mengapa bukan suamimu, Sakuni, Duryodana, atau orang-orang lain di perjudian   itu?!”  |   
Suara   wanita (Drupadi)  |    :  |    “Lupakah   kau akan nafsu dan angkaramu sendiri, Dursasana?? Lupa-kah kau, betapa aku   sudah memperingatkanmu untuk tidak melaku-kannya. Tapi nafsumu telah mengalahkan   dharmamu. Maka, seperti sumpahku, kau tidak akan pernah menemui kembali   indahnya kesucian para perempuan. Sebaliknya, justu kau akan menjadi budak   bagi mereka! Kau adalah perlambang bagi mereka yang serupa denganmu, pemuja   & penguasa nafsu! Dan sekarang, tunjukkan kuasa nafsu itu, seperti yang   kau lakukan padaku di perjudian lalu! Lihat mereka!!” (Tiba-tiba, muncul dua penari perempuanyang cantik dan seksi, mengenakan   topeng. Keduanya bersama mendekati Hasto di tengah panggung. Mereka lantas   mempermainkan laki-laki itu, menggodanya.) “Tak   perlu kau melucuti mereka, Dursasana! Tapi biar mereka lucuti diri mereka   sendiri. Lalu nikmati mereka, permainkan mereka seperti kau mempermainkan   aku! Puaskan dirimu! Bukankah itu yang memang kau mau?!” (Lantas kedua penari itu berdiri di hadapan   Hasto. Seperti penari striptis, mereka meliuk-liukkan tubuh sambil perlahan   melucuti satu-satu busana mereka, diiringi lagu.)  |   
Lagu   #5 (Cangkangku   kutang-galkan)  |    :  |    Ini   cangkangku, kutang-galkan,  Kanthi   sibak, bak pualam Ini   tubuhku, kusajikan,  Kanthi   utuh, nikmatilah Cangkangku,   kubukakan Tubuhku,   kusajikan Nikmati,   titianmu Di   helai kulitku Dan   lembar nafsumu!  |   
Hasto     |    :  |    “Tidak,   Drupadi! Tidak! Jangan kau lakukan ini padaku! Aku tak bisa, aku tak sanggup!   Tidak, Drupadi! Jangan!!” (Tiba-tiba   kedua sisi samping panggung terang. Tampak dua pasang sejoli, Yan – Rista   & Anggito – Lilin, di setiap sisi panggung itu. Mereka saling mendekap   sambil menatap dan menertawakan Hasto yang sedang dipermainkan kedua penari. Sedang   kedua penari itu, menjatuhkan tubuhnya, merebahkan Hasto dan   mempermainkan-nya seolah ia perempuan yang hendak diperkosa.) “Tidak!   Tidak! Tidaa...aak!!!” Lagu berlanjut, semakin keras. Selang   sesaat, lampu meredup dan spot di tengah panggung tepat di kedua penari.   Bersamaan lirik / melodi lagu terakhir berhenti, keduanya freeze. Dan lampu   padam SELESAI  |   
Agung Wijaya
Bandung-Yogyakarta, 
medio Desember 2007 – 27 Januari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar