Minggu, 15 April 2012

MENGARANG; KEINDAHAN ALAM;KEMILAU SURYA DI UFUK SENJA


KEINDAHAN ALAM 
REFLEKSI KEINDAHAN ALAM



KEMILAU SURYA DI UFUK SENJA

Tuntutan, itulah hal yang mengharuskan aku selalu hidup di wilayah jiran untuk menimba ilmu setiap 3 hari pada sore hari dalam seming gu. Lelah dahaga, sandangku sepulang dari kampung sementaraku di Manunggal Tuban. Bergoyang  saat putaran lingkar hitam menabrak alam terbuang. Kadang aku merasa jenuh dan ingin putus asa. Namun selalu, kemilau surya di ufuk senja seakan tersenyum kepadaku berbisik ribuan inspirasi untuk menggayuh sejuta cita. Dan akupun menjawabnya “bisa”.
Saat kemilau surya di ufuk senja menyoroti mataku, akupun bergegas menolehkan wajahku supaya aku tidak silau. Ke kiri. Aku melihat rindang jati berguguran tersayup angin begitu kencangnya. Sekejap aku memejamkan mata dan berfikir, dia tetap berdiri dengan kuat walau panas dingin, gugur semi, masih seperti itu, sedangkan aku? Sambil menengadahkan kepala dan melihat kuat seraya berkata aku juga “siap”
Lambat, Kendali kereta yang aku kendarai mulai sering menginjak rem. “Terdapat alat-alat berat, di depan sana ada perbaikan jalan”  tutur pembawa karcis. “Huf….” Akupun diam. Saat aku melihat ke luar, ada saudara kita yang kehilangan tujuan dengan mengenakan baju compang camping sedang duduk di pagar sebelah nisan yang berbaris dan mengamati keretaku. Seakan kemilau surya di ufuk senja memberikan pelajaran lagi di telinga kiriku. Siapa dia dan siapa aku? Sayapun manjawab, “aku adalah jiwaku untuk kehidupanku”.
Berhenti, antrean kendaraan bertarif dan tak bertarif mulai berderet dan berliku. Keretaku pun terjebak di tengahnya. Karena cuaca dan posisi yang berdesak-desakan dengan penumpang lain, Panas, itulah yang ku rasa. Sesekali saya membuka kerambu dan mengamati pemandangan. Aku melihat Kincir angin kehilangan gairah hidup untuk menyeru pada berhektar-hektar padi hijau yang hidup pada tanah kering di aliri air dengan jenset untuk melambaikan angan padaku. Aku termenung, seakan kemilau surya di ufuk senja mengajari ku falsafah kehidupan. Mengapa ku Hidup? Akupun menjawab, “karena diriku bukan orang lain”.
Cukup untuk mendengarkan lagu-lagu kenangan yang diputar oleh pemegang lingkar kendali, keretaku tak bergegas untuk segera memindahkan roda-rodanya. Lelah, ku ingin melayang sejenak. “Mizon, Mizon, kacang, tahu, dua ribuan. Monggo mas?” ujar pedagang asongan menarwarkan jualannya. Aku terganggu dan sadar. Bapak sopir masih santai berkipas-kipas. Ku menengok ke kanan. Desir pasir dan kerikil memenuhi alam satu petak. di sebelahnya terdapat sapi-sapi dengan lahapnya memakan sajian yang baru saja disiapkan juragannya. Mungkin mereka baru usai bekerja. Lahan disamping pasir terdapat kolam yang akan kering. Di dalamnya banyak burung kecil berpesta, turun naik, mengibarkan sayap dan mengayunkannya. Mungkin mereka berkicau tapi aku tidak mendengar. Di atasnya, menghias langit, dengan kencang gerombolan burung-burung menyerbu membentuk sabit berasal dari pohon lebat, sesekali hampir menerjang layang-layang yang ditarik sang bocah ingus. Kemilau surya di ufuk senja mulai beranjak dari tempatnya memberikan pesan padaku, “gerak, dan biarkan!”
Ahirnya, roda keretaku mulai berputar, meskipun dengan lamban. Lagi, pukul 17.20 ku melihat lampu pijar menyala menyambut kedatangan malam gulita, meski redup di tengah-tengah sawah yang terang karena silau malaikat magrib. Kemilau surya di ufuk senja tiada lagi tampak menginspirasi. Aku mencoba menafsirkan sendiri dan menjawab “sekarang”.
Sang ayah mengayunkan jemarinya untuk bocah dibawahnya yang ku  yakini dia adalah anaknya. Itu yang ku periksa setelah beberapa kemudian. Sedih. Tak ku elakkan, aku mahluk lemah. Aku iri pada anak itu. Dan aku menjawab tegas pada jiwaku, “ayah,tersenyumlah di sana”
Hah… akhirnya sampai juga. Perjalanan penuh arti. Besok, akan ku mulai lagi.


Selasa, 18 Oktober 2011 
AREK REMBANG /FKIP-BSI/2010-C

Tidak ada komentar:

Posting Komentar