Kamis, 25 Agustus 2022

Cerita di balik karnaval







Karnaval. Acara tiga jam itu berjalan singkat. Tak lebih dari seperdelapan hari. Syukur, berjalan lancar tanpa ada halangan yang berarti. Ada kisah menarik dibalik kegiatan tiga jam ini.

Pertama, RT Pak de Sentul. Wilayah dengan jumlah warga terkecil, ternyata mengalahi jumlah RT RT lainnya. Saya penasaran saja, bagaimana bisa, ini boking peserta atau bagaimana ini. "Dudu cung", jawabnya. Mereka ini pemuda kampung yang merantau. 

Waw, merantau, pulang demi jalan berpanas panasan 3 jam. Ternyata, banyak warga yang sekisah dengan pasukan Pak de Sentul ini. Bela belain cuti kerja, demi karnaval, bela belain pulang kampung demi ikut karnaval. Ada yang lebih parah, bukan warga bukan peserta, tapi bela belain cuti kerja hanya untuk melihat karnaval. 

Kedua, mbak Kunti. Fajar lalu, rumah beliau sudah horeg, seperti ada kebakaran. Jam 3 dini hari kok ramainya begini, padahal biasanya jam 6 saja pintunya masih tertutup, sepi mampring. Ini mbak Kunti lahiran, tapi kok tidak pernah rujaan. Atau suaminya kecelakaan, tapi kok tertawanya bekaka'an. Atau mau umroh, tapi kok tamunya tidak ada yang kudungan. 

Ternyata oh ternyata, rombongan mbak Kunti sedang make up untuk persiapan karnaval. What? Jam 3? Make up!!. Rambut masih kusut, nyawa belum genep, mata masih ada zamrud ijuk sudah hahohaho make up. Ini salah kedaden atau kurang waras. 

Sepulang karnaval, ibu ibu saling merumpi, rombongan lor dan rombongan kidul saling lempar waktu. ternyata kisaran jam segitu mereka mengubah diri. Bangun subuh saja ribut, apalagi tahajud. Giliran sekali tahajud, malah tidak subuh. Semangat bangun pagi sekali, malah make up-an. Aduh aduh.

Ketiga, mbak Germi. Beliau ini tampak energik. Tubuh sintal. Langsing dan bahenol. Pasukan mbak Germi cantik cantik. Polesan bedaknya mengkilap. Saat rombongan mbak Germi melewati rumah Pak kaji yang depan rumahnya full kaca, keduanya saling menyilau. Robekan celana dilutut membuat mereka seakan gaul. Ada satu yang robekannya di atas lutut mungkin lututnya lebam, karena masa kecilnya bringas. Pakaian ketat, celana jeans pensil membuat bulu kuduk hidung belang menari nari. Apalagi goyangan musik pok ame ame dan es dawet itu, seperti menantang pelakor. 

Sore itu ada surat yang perlu sampai ke Kak Jasno. Kebetulan melewati rumah Mbak Germi. Lah, bedak mengkilapnya mana. Goyang pelakornya mana. Baju gaulnya mana. Kok begitu tampilannya, daster oborowok dengan koyo di pilingan. Kisah di luar seakan bumi langit dengan kisah di rumah.

"Hus", seakan Kak jasno membaca pikiranku. "Kue gumun leh". Ternyata pasukan mbak Germi semua sama. Di rumah ndelebus, busem semua.

Ke empat, marya. Nama aslinya Sumar sujiati. Tak cantik. Pertumbuhan hidungnya tertukar dengan pertumbuhan mulut dan giginya. Hidungnya lambat, bibir dan giginya cepat. Kelainan macam apa ini. Kulit lebam seperti gosong. Mungkin masa kecilnya rajin jatuh sampai lukanya rata sekujur tubuh. Kacamata hitam yang dipakainya membuatnya cantik, tapi lucu. Hahaha. 

Eits, jangan salah. Totalitas dan loyalitas mbak Marya tak diragukan lagi. Saya mengamati, sepanjang barisan karnaval, ternyata banyak marya marya lain. Apa mungkin yang loyalitas dan totalitas itu tipenya kudu seperti itu. "La wong mengkunu kui, Asu wae Ra doyan", begitu jawab temanku ketika saya jodohkan dengan Marya.

Kelima, patungan. Dalam aksinya, uang kas RT pojok tidak mencukupi kebutuhan Karnaval. Ditambah patungan warga juga masih kurang. Putar pikir jungkir balik, pak RT tak temukan solusi. Ada satu jalan, yaitu harta Karun penuwun. Ini adalah simpanan pak RT. Sisih uang rokok, sisih uang belanja, sisih dana sisih. Bu RT jelas tak mengetahuinya. Pak RT dengan rela memberikan uang sisihnya untuk karnaval. 
Ternyata yang belanja untuk karnaval dengan uang pribadi tanpa sepengetahuan istri juga banyak.

Terakhir, pentonton heboh. Pentonton Karnaval ramai, biasa. Ada yang tidak biasa. Pengendara NMAX, cewek glowing. Alisnya pakai krayon atau apa itu. Tampilan kota banget. Duduk anggun di atas sepedanya. Belum puas ku merundung, saya disruduk pengendara CBR. Ternyata Teman ku mengerjaiku. 

Malamnya kita njagong. Pengendara CBR ini adalah teman SMAku. Lumayan akrab. Dia bercerita, cewek cantik tadi adalah TKW yang kebetulan pernah berangkat kerja bareng. Dia jadi babu orang gedongan. Kayaknya sekarang dia jadi buruh pabrik.

 "La sampean?", Tanyaku. Ternyata temanku bekerja sebagai tukang serabutan, kuli bangunan, petugas AC, dan pekerjaan sampingan lain.

Lah, pekerjaannya mbabu, pulang pulang seperti pangeran dan Cinderella pakai sepatu. Baju necis. Makan pakai garpu dan pisau. Tipe tipe begini, banyak.kata temanku.

Semua manusia sama. Mbabu atau nguli adalah pekerjaan halal dan lebih mulia dari pemain pulpen dan tanda tangan. Kataku.

Semoga kita senantiasa bersyukur atas segala hal yang kita terima dan hadapi. Semoga ada hikmah yang baik untuk kita. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar